Kandungan Fiqih Surah Al-Baqarah ayat 186-187

Kandungan Fiqih Surah Al-Baqarah ayat 186-187

Ibnu Katsir berkata: Penyebutan ayat ini yang mendorong untuk berdoa, di sela-sela hukum-hukum puasa, merupakan anjuran untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa ketika telah usai menyempumakan biiangan buian puasa, bahkan pada setiap kali berbuka.

Abu Dawud ath-Thayalisi meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Abduliah bin Amr, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda:

للصائم عند إفطاره دعوة مستجابة

Artinya: “Bagi orang yang berpuasa, pada waktu berbukanya, ada doa yang terkabul.”

Karena itu, setiap kali berbuka puasa Abduliah bin Amr memanggil anak istrinya ialu berdoa. Ibnu Majah meriwayatkan hadis ini dengan iafal begini:

إن للصائم عند فطره دعوة ما ترد

Artinya: “Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa pada waktu berbukanya, ada doa yang tidak ditolak.

Biasanya Abduliah berdoa begini ketika berbuka puasa:

اللهم إني أسألك برحمتك التي وسعت كل شيء أن تغفر لي

Artinya: “Ya Allah, dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu, aku mohon ampuniiah dosa-dosaku.

Dalam Musnad Imam Ahmad dan Sunan Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah, diriwayatkan bahwa Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw pernah bersabda:

ثلاثة لا ترد دعوتهم: الإمام العادل والصائم حتى يفطر ودعوة المظلوم يرفعها الله دون الغمام يوم القيامة وتفتح لها أبواب السماء ويقول: بعزتي لانصرنك ولو بعد حين

Artinya: “Ada tiga orang yang tidak ditoiak doanya: pemimpin yang adil, orang yang berpuasa hingga ia berbuka, dan doa orang teraniaya diangkat Allah di bawah awan pada hari Kiamat dan pintu-pintu iangit dibuka untuknya dan Allah berfirman: ‘Dengan keagungan-Ku, pasti Ku tolong dirimu, meskipun dengan menanti beberapa waktu’.”

Ayat Puasa (187) Menunjukkan Hal-hal Berikut:

1. Kebolehan jimak pada malam hari dan keharamannya pada siang hari, sama seperti makan dan minum. Dulu jimak itu haram setelah berbuka dan tidur. Kemudian hukum ini dinasakh. sebagaimana telah diterangkan dalam asbabun nuzul ayat ini.

2. Wajibnya menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, dengan syarat niat sebelum fajar menurut jumhur selain mazhab Hanafi karena puasa termasuk ibadah, maka dari itu ia tidak sah kecuali dengan niat.

Di antara perkara yang menjadi kesempurnaan puasa adalah mengiringkan niat (tidak menghiiangkannya dari hati) sepanjang hari-hari puasa, tapi orang yang berpuasa tidak keluar dari puasanya kecuali dengan berbuka secara nyata, bukan sekadar dengan niat.

Mazhab Hanafi berkata: Niat pada malam hari tidak harus, karena firman Allah Ta’aia “ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ” menunjukkan demikian, sebab kata tsumma berfungsi untuk menyatakan urutan yang iambat. 

3. Jumhur ulama menganggap sah puasa orang yang masih junub ketika fajar terbit. Kata Ibnul Arabi: Hal itu boleh, dengan ijmak.

Pada mulanya para sahabat berdebat mengenai masaiah ini, tapi kemudian mereka sepakat bahwa orang yang di pagi hari (ketika fajar terbit) berada dalam keadaan junub terhitung sah puasanya.

Sebabnya, karena junub tidak berpengaruh terhadap sahnya puasa iantaran ia pasti bergandengan dengan puasa, sebab orang itu boleh berjimak sebelum fajar.

Dan juga karena ayat “وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ” menunjukkan adanya kemungkinan orang itu masih dalam keadaan junub hingga terbitnya fajar sehingga ia menjalani sebagian puasa dalam keadaan junub.

Sebab kata hatta adalah ghaayah (target, tujuan) untuk menjeiaskan. Akan tetapi, mandi berhukum wajib sebab orang itu harus shalat shubuh, dengan dalil firman Allah Swt:

...Jika kamu junub maka mandiiah...” (QS. Al-Maaidah: 6)

4. Wanita yang haid apabila telah suci. Jumhur berkata: Apabila wanita yang haid sudah suci sebelum fajar terbit dan ia tidak mandi hingga pagi, ia wajib berpuasa dan puasanya sah, baik ia tidak mandi secara sengaja maupun karena lupa, sama bukumnya dengan orang yang junub.

Sedangkan Imam al-Auza’i berkata: Ia harus menqadha puasa hari itu karena ia mengabaikan mandi.

Apabila seorang wanita sudah suci (dari haid atau nifas) pada malam hari di buian Ramadhan dan ia tidak tahu apakah hal itu terjadinya sebelum fajar atau sesudahnya, hendaknya ia berpuasa dan menqadha puasa hari itu, sebagai bentuk ihtiyath, dan ia tidak wajib membayar kafarat.

5. Bekam tidak membatalkan puasa, karena Nabi Saw dulu berbekam pada tahun haji Wada’ sementara beliau sedang ihram dan sedang puasa. Dengan demikian hadis ini menasakhkan hadis syaddad bin Aus pada tahun penaklukan Makkah:

أفطر الحاجم والمحجوم

Artinya: “Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya.”

6. Jika seseorang menyangka matahari telah terbenam karena mendung atau lainnya, ialu ia berbuka tapi kemudian matahari muncul iagi, maka ia harus mengqadha menurut sebagian besar ulama.

7. Firman Allah Ta’al “ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ” menunjukkan bahwa puasa wishal terlarang sebab malam merupakan ghaayah (batas akhir) puasa. Larangan puasa ini ditegaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Rasulullah Saw bersabda:

إيّاكم والوِصالَ، إيّاكم والوِصالَ

Artinya: “Janganlah kalian melakukan puasa wishal, janganlah kalian melakukan puasa wishal.”

Puasa wishal hukumnya makruh menurut jumhur ulama. Namun, sebagian ulama mengharamkannya karena puasa ini bertentangan dengan lahiriah nash Al-Qur’an dan tergolong perbuatan meniru Ahli Kitab.

8. Bagi orang yang berpuasa disunahkan berbuka dengan beberapa kurma segar, kurma keling atau beberapa teguk air putih. Dalilnya adalah hadis yang dtriwayatkan oleh Abu Dawud dan Daraquthni dari Anas, katanya:

Rasulullah Saw biasanya berbuka dengan beberapa butir kurma segar sebelum menunaikan shalat maghrib. Kalau tidak ada kurma segar, beliau Saw berbuka dengan kurma kering. Kalau tadak ada, beliau minum beberapa teguk air putih.

9. Disunahkan berpuasa enam hari di bulan Syawwal. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Abu Ayyub al-Anshari bahwa Rasulullah Saw bersabda:

من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان له كصيام الدهر

Artinya: “Baranqsiapa berpuasa Ramadhan lalu mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka itu terhitung seperti puasa setahun penuh.

Menurut mazhab Maliki, makruh hukumnya menyambung puasa enam hari itu dengan Ramadhan.

10. Jimak membatalkan i’tikaf, dengan dalil firman-Nya:

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid”.

Adapun bersentuhan kulit deagan istri tanpa berjimak: kalau tujuannya adalah untuk mendapatkan kenikmatan, hukumnya makruh; tapi kalau ia tidak bermaksud demikian, hukumnya tidak makruh.

Dalilnya, Siti Aisyah dulu menyisir rambut Rasulullah Saw ketika beliau sedang i’tikaf dan dalam keadaan begitu pasti terjadi persentuhan kulit mereka. Hal itu menunjukkan bahwa persentuhan kulit tanpa diiringi syahwat tidak terlarang. Ini adalah pendapat Imam Atha’, Imam Syafi’i, dan Ibnul Mundzir.

Adapun hal-halyaagmenjadi pendahuluan jimak (seperti ciuman dan rabaan), walaupun tidak sampai keluar mani, haram hukumnya dan merusak i’tikaf menurut madzhab Maliki.

Sedang menurut jumhur, hal seperti itu tidak merusak i’tikaf; hanya saja mazhab Syafi’i berkata:

“I’tikaf menjadi batal Jika ia keluar mani sesuai dengan kebiasaannya.”

Sedangkan selain mereka berkata: “I’tikaf menjadi batal gara-gara keluar rnani pada saat terjadi persentuhan kulit yang diiringi syahwat, seperti ciuman, rabaan, pergesekan paha, dan sebagaiaya.”

11. Disunahkan beri’tikaf di masjid. Arti I’tikaf dalarn bahasa Arab adalah menetap, sedangkan artinya dalam istilah syariat adalah melaksanakan suatu ketaatan khusus secara terus-rnenerus pada waktu yang khusus, dengan syarat khusus, di tempat khusus.

12. Wajib menaati hukum-hukum (perintah dan larangan) Allah, termasuk di antaranya hukum mengenai persentuhan kulit dengan istri pada saat i’tikaf. Itu termasuk hudud (batasan-batasan) Allah.

Disebut hudud karena ia mencegah masuknya sesuatu yang bukan termasuk bagiannya, dan menghalangi keluarnya apa yang termasuk bagiannya.

Dari sinilah asal usulnya penyebutan hukuman kejahatan dengan istilah hudud, sebab hukuman itu akan mencegah orang yang bersangkutan untuk kembali melakukan kejahatan itu.

Juga dari sini adanya istilah al-ihdaad dalam iddah, sebab wanita yang menjalani masa iddah tidak boleh berhias dan berdandan. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)