Kandungan Fiqih Surah Al-Baqarah ayat 104-105

Kandungan Fiqih Surah Al-Baqarah ayat 104-105

Surah al-Baqarah ayat 104 dan 105 ini menyebutkan sebagian dari keburukan kaum Yahudi, sebagaimana yang sudah diterangkan sebelumnya. Tujuannya adalah melarang kaum muslimin melakukan hal-hal yang serupa dengan perbuatan kaum Yahudi.

Juga mengokohkan akidah muslimin bahwa sumber kebaikan, rahmat, dan hak memilih siapa yang pantas menerima tugas kenabian dan kerasulan adalah Allah Ta’ala.

Oleh karena itu, tidak boleh seseorang merasa dengki kepada orang lain lantaran Allah memberikan karunia-Nya kepada orang itu.

Ayat 104 dari Surat Al-Baqarah diawali dengan firman-Nya “Hai orang-orang yang beriman”. Seruan ini adalah yang pertama kalinya dipakai untuk memanggil kaum mukminin dalam surat ini.

Di antara 88 tempat dalam Al-Qur’an yang menyebutkan seruan ini yang menunjukkan betapa Allah memperhatikan kaum mukminin.

Seruan mukminin juga mengingatkan mereka bahwa iman menuntut pemiliknya agar menerima perintah-perintah dan larangan-lanngan Allah dengan sepenuh ketaatan dan sebaik-balknya pelaksanaan.

Inti dari etika yang bagus ini adalah: hendaknya orang beriman, dalam berbicara kepada Nabi Muhammad Saw, menghindari kata-kata yang mengesankan penghinaan dan olok-olok, agar musuh tidak mengambil kesempatan dengan memakai suatu kata atau lainnya.

Dulu kaum Yahudi memakai kata raa’ina dengan maksud memaki. Mereka mengucapkannya kepada Nabi Saw dan mereka tertawa di antara sesama mereka.

Sa’d bin Mu’adz yang mengerti bahasa mereka lantas menghardik mereka, “Semoga kalian dilaknat Allah! Demi Allah yang menggenggam jiwaku, jika kudengar salah seorang dari kalian mengucapkannya kepada Rasulullah, pasti kupenggal lehernya!”

Ungkapan “Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih” (Al-Baqarah: 105) mengisyaratkan bahwa tindakan kaum Yahudi dalam memakai etika buruk ketika berbicara kepada Nabi Saw adalah kekafiran yang tak diragukan.

Sebab orang yang mengatakan Nabi Muhammad Saw itu jahat berarti ia mengingkari kenabian beliau, dan orang yang berbuat begitu berarti kafir.

Dengan demikian, ayat 104 Surat al-Baqarah ini ini menunjukkan dua hal:

Pertama, hendaknya menghindari kata-kata yang ambigu (bermakna ganda) yang mengandung sindiran yang menurunkan dan mengurangi derajat Nabi saw.

Hal di atas menguatkan Mazhab Maliki (serta sebuah riwayat dari Ahmad) yang memandang wajibnya hukuman qadzf atas orang yang mengucapkan qadzf dengan kata-kata sindiran.

Berbeda dengan pendapat Mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Ahmad dalam riwayat yang kuat; mereka memandang bahwa kata sindiran bisa diartikan sebagai qadzf dan bisa pula diartikan lain, sementara hukuman hudud menjadi gugur apabila ada syubhat.

Kedua, berpegang kepada saddudz-dzaraa’i: Ini adalah mazhab Imam Malik dan Ahmad.

Dzarii’ah adalah perkara yang pada dasarnya tidak terlarang, tetapi jika seseorang melakukannya maka dikhawatirkan ia akan terjerumus pada sesuatu yang terlarang.

Artinya, setiap perantara yang mubah yang mengantarkan kepada perkara terlarang adalah haram, dan setiap perantara yang mengantarkan kepada perkara yang diperintahkan oleh syariat berarti perantara itu pun diperintahkan.

Dengan kata lain, perantara haram adalah haram, perantara wajib adalah wajib, dan perantara mubah adalah mubah.

Firman Allah Ta’ala “Janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): Raa’ina” adalah larangan, yang berarti bahwa hal itu diharamkan, demi saddudz-dzaraa’i' (menutup celah), agar kata yang bermakna ganda ini tidak dipakai sebagai perantara untuk sesuatu yang jelek.

Firman Allah “Tetapi katakanlah: Unzhurna” adalah perintah yang ditujukan kepada kaum mukminin supaya mereka berbicara kepada beliau seraya mengagungkan bellau.

Adapun firman Allah Swt “dan dengarlah” menunjukkan wajibnya mendengarkan (mematuhi) apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Firman Allah “Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian)” menunjukkan ditutupnya pintu kedengkian. 

Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a berkata: “Maksud rahmat di sini adalah kenabian. Allah menentukan kenabian itu akan diberikannya kepada Muhammad Saw.

Ada pula yang berpendapat: Rahmat dalam ayat ini bersifat umum, mencakup segala macam rahmat yang telah diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya sejak dulu hingga sekarang.

Rahmat Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya adalah nikmat-nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada mereka serta ampunan-Nya bagi mereka. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)