Khulu’ (Tebus Talak) dan Hukumnya dalam Islam
Allah Ta’ala melarang suami mengambil lagi segala pemberiannya kepada istri untuk menyengsarakannya apabila ia menalak istrinya itu.
Secara khusus Allah menyebut pemberian suami kepada istri karena, pada saat terjadi pertikaian, biasanya lelaki meminta kembali maskawin dan perabot rumah yang telah diberikannya kepada istrinya.
Namun, jika istri membayar tebusan atas talak suami boleh mengambilnya [menurut jumhur] kalau nusyuuz terjadi dari pihak istri.
Sebagian ulama (yakni Dawud azh-Zhahiri) berpendapat bahwa yang membolehkan pengambilan tebusan ini adalah kekhawatiran bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah lantaran masing-masing tidak suka hidup bersama pasangannya.
Yang lebih kuat adalah pendapat pertama, yakni adanya nusyuuz dan keburukan tingkah laku istri merupakan alasan yang cukup untuk bolehnya mengambil tebusan, meskipun lahiriah ayat ini menguatkan pendapat selain jumhur.
Atas dasar tersebut, Khulu’ boleh menurut mayoritas ulama, baik dalam kondisi adanya kekhawatiran maupun tidak dalam kondisi seperti itu, dengan dalil firman Allah Ta’ala:
“...Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (QS. an-Nisaa: 4)
Jumhur berpendapat bahwa harta tebusan dalam Khulu’ boleh lebih dari jumlah harta yang telah diberikan suami kepada istrinya karena Khulu’ adalah akad pertukaran yang mestinya tidak terikat dengan ukuran/jumlah tertentu.
Hanya saja aqad Khulu’ ini makruh menurut mazhab Hanafi, dan menurut mazhab lainnya suami tidak dianjurkan mengambil tebusan lebih banyak dari apa yang sudah ia berikan kepada istrinya, dengan dalil kisah istri Tsabit bin Qais yang telah disebutkan sebelumnya, di mana Nabi Saw bersabda dalam kisah itu:
“Apakah kamu akan mengembalikan kebunnya kepadanya?” Wanita itu menjawab, “Ya, malah akan saya tambah.” Rasulullah Saw lantas bersabda:
أما الزيادة فلا
Artinya: “Tambahannya tidak boleh.”
Sedangkan asy-Sya’bi, az-Zuhri, dan Hasan al-Bashri melarang Khulu’ dengan tebusan yang lebih besar dari apa yang sudah diberikan suami kepada istrinya, dengan dalil firman Allah Ta’ala:
فلا جناح عليهما فبما افتدت به
Yang artinya “Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri [untuk menebus dirinya] dari harta yang kamu (suami) berikan kepada istri”.
Sedangkan jumhur berpegang kepada kemutlakan ayat ini.
Jumhur (selain Imam Syafi’i) membolehkan Khulu’ dengan tebusan berupa gharar (sesuatu yang belum pasti adanya), atau sesuatu yang masih belum ada tapi ditunggu adanya.
Misalnya: buah yang masih belum masak, unta yang tersesat (hilang), janin di perut induknya, dan jenis-jenis gharar lainnya.
Dalam hal ini Khulu’ berbeda dengan akad jual-beli dan pernikahan. Suami berhak meminta semua itu. Kalau barangnya sudah diserahkan, itu menjadi miliknya; tapi kalau tidak diserahkan maka ia tidak mendapat apa-apa, dan talak tetap sah sesuai keputusannya.
Sedangkan Imam Syafi’i berkata: Khulu’ yang demikian sah, tapi suami hanya berhak mendapat mahr mitsli (maskawin bagi wanita yang setara dengan istrinya). Sementara itu Abu Tsaur berkata: Khulu’ seperti ini tidak sah. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)