Kandungan Fiqih Surah Al-Baqarah ayat 106-108
Alfailmu.com - Generasi salaf berijmak bahwa nasakh telah terjadi dalam syariat Islam. Bukti-bukti kuat menunjukkan terjadinya, tanpa mengindahkan kesewenangan dalam penakwilan ayat-ayat yang dinasakh.
Nasakh bukanlah ketidaktahuan akan hukum terakhir, bukan pula termasuk al-badaaˋ, melainkan pemindahan manusia dari satu ibadah ke ibadah yang lain, dari satu hukum ke hukum lainnya.
Alasannya karena adanya suatu maslahat tasyri’ yang selaras dengan kebutuhan manusia, guna memperlihatkan hikmah Allah dan kesempurnaan kekuasaan-Nya.
Semua manusia yang berakal tak ada yang berbeda pendapat bahwa syariat-syariat para nabi bertujuan mewujudkan maslahat manusia (maslahat keagamaan dan maslahat duniawi).
Badaaˋ (menjadi tampak setelah sebelumnya samar; atau terlihatnya maslahat yang sebelumnya tidak tampak oleh pembuat syariat) hanya dapat terjadi apabila sang pembuat syarlat tidak mengetahui basil akhir berbagai persoalan.
Adapun bagi Allah yang mengetahul hal itu, firman-Nya berganti-ganti, karena mengikuti pergantian maslahat. Seperti halnya tabib yang mempertimbangkan kondisi orang sakit.
Allah (sebagai pembuat syariat) juga memperhitungkan kondisi makhluk-Nya dengan kehendak dan keinginanNya; tiada Tuhan selain Dia.
Jadi, firman-Nya berganti-ganti, tetapi ilmu-Nya dan kehendak-Nya tidak berubah, sebab hal itu mustahil bagi Allah Ta’ala.
Kaum Yahudi menganggap sama antara nasakh dan badaaˋ. Padahal sebenarnya ada perbedaan antara keduanya, yaitu: nasakh adalah pengalihan ibadah dari sesuatu ke sesuatu yang lain (yang sebelumnya halal kini diharamkan, atau yang sebelumnya haram kini dihalalkan).
Sedangkan badaaˋ adalah meninggalkan perkara yang sudah hendak dilakukan. Badaaˋ ini dapat terjadi pada manusia lantaran keterbatasan mereka.
Jumhur ulama berpendapat bahwa nasakh hanya terjadi dalam perintah dan larangan. Berita-berita tidak meitgalami nasakh karena mustahil Allah Ta’ala berdusta.
Dalam syariat terkadang disebutkan berita-berita yang lahirnya tampak mutlak dan menyeluruh, kemudian di tempat lain dibatasi cakupannya sehingga kemutlakan tadi lenyap.
Hal ini tidak bisa dianggap sebagai peristiwa nasakh terhadap berita-berita tersebut. Ia tidak lebih dari sekadar al-ithlaaq wat-taqyiid (mula-mula disebutkan secara mutlak kemudian dibatasi cakupan maknanya). Misalnya, firman Allah Ta’ala:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS. al-Baqarah: 186)
Lahirnya firman ini menyatakan bahwa Allah mengabulkan permohonan setiap orang pada setiap keadaan. Akan tetapi Allah mentaqyiid (membatasi cakupan maknanya) di tempat lain, yaitu dalam firman-Nya:
“Maka Dia menghllangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya; jika Dia menghendaki.” (QS. Al-An’aam: 41)
(Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)