Kandungan Fiqih Surah Al-Baqarah ayat 172-173

Kandungan Fiqih Surah Al-Baqarah ayat 172-173

Dalam Surat Al-Baqarah ayat 172-173 ini, Allah Swt menegaskan bolehnya memakan barang-barang yang baik. Di sini Dia secara khusus menyebutkan kaum mukminin sebagai bentuk pengutamaan dan sanjungan kepada mereka.

Yang dimaksud dengan “memakan” adalah memanfaatkan dengan segala cara. Jadi, boleh memanfaatkan semua benda yang ada di darat dan di laut, seperti: tumbuhan, hewan, ikan, dan burung, kecuali yang diharamkan Allah dalam ayat ini dan ayat al-Maa’idah ayat 3 serta yang disebutkan para fuqaha dengan bersandar kepada hadis-hadis yang shahih.

Perlu diketahui bahwa yang disebutkan di dalam surah al-Maa’idah masuk dalam kategori “bangkai”, yaitu semua bewan yang mati tanpa disembelih secara syar’i, baik ia mati karena tercekik, jatuh, ditanduk, atau diterkam binatang buas dan ketika didapati sudah tidak hidup sehingga tidak dapat disembelih.

Demikian pula semua hewan yang tidak boleh dimakan, meskipun ia disembelih, hukumnya sama seperti bangkai, contohnya: binatang buas dan lain-lain.

Ayat 173 QS. Al-Baqarah ini dipersempit cakupan maknanya dengan sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Daraquthni:

أُحِلَّت لنا ميتتانِ الحوتُ والجرادُ ودمانِ الكبدُ والطِّحالُ

Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua bangkai: ikan dan belalang, dan dihalalkan dua darah: lever (hati) dan limpa.” (HR. Daraquthni)

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Tsa’labah al-Khusyani bahwa ia berkata, “Rasulullah Saw telah melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring.”

Malik dan Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda,

أكل كلِّ ذي نابٍ من السِّباعِ وكلِّ ذى مِخْلَبٍ من الطيرِ حرام

Artinya: “Memakan setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang berkuku tajam adalah haram.”

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa ia berkata:

“Pada waktu terjadinya perang Khaibar, Rasulullah Saw melarang memakan daging keledai jinak, tapi beliau mengizinkan memakan daging kuda.”

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum memakai minyak bangkai untuk selain makan, misalnya untuk mengecat perahu dan menyamak kulit.

Jumhur berpendapat bahwa hukumnya haram, dengan dalil ayat di atas. Mereka memandang bahwa fi’il yang ditaqdiirkan dalam ayat itu adalah intifaa’ (memanfaatkan), baik dengan makan maupun lainnya. Mereka juga bersandar kepada sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan Jabir:

قاتل الله اليهود حرمت عليهم الشحوم فباعوها وأكلوا أثمانها

Artinya: “Semoga Allah melaknat kaum Yahudi. Lemak diharamkan bagi mereka, tapi mereka menjualnya lalu memakan hasil penjualannya.”

Rasulullah Saw melarang kaum muslimin melakukan hal serupa. Ini menunjukkan bahwa pengharaman bangkai yang bersifat mutlak (tanpa dikaitkan dengan syarat/kondisi tertentu) itu menunjukkan keharaman menjualnya.

Sedangkan Atha’ berpendapat bahwa lemak bangkai boleh dipakai untuk meminyaki badan perahu. Dalilnya: Ayat di atas berkenaan dengan pengharaman makan, dengan dalil ayat sebelumnya. Dalil lainnya: Nabi Saw suatu ketika melewati bangkai kambing Maimunah lalu bersabda:

هلا أخذتم إهابها

Artinya: “Mengapa tidak kalian ambil kulitnyat”

Hadis ini bertentangan dengan hadis Jabir, dan ia mesti ditarjih sebab ia sesuai dengan lahiriah ayat Al-Qur’an.

Adapun kulit bangkai tidak halal meski disamak, menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Maliki dan riwayat yang masyhur di kalangan mazhab Hambali, dengan dalil hadis Abdullah bin Ukaim yang diriwayatkan oleh lima ahli hadis (Ahmad dan keempat penyusun kitab Sunan), kata Abdullah:

Sebulan sebelum meninggalnya Rasulullah Saw menulis surah kepada kami “Jangan memanfaatkan kulit maupun urat bangkai.”

Hadis ini menasakhkan hadis-hadis sebelumnya karena ia dikeluarkan Rasulullah Saw pada saat akhir hayatnya. Lafal hadis ini pun menunjukkan bahwa sebelumnya hal itu boleh, dan larangan ini datangnya belakangan. 

Sedangkan mazhab Hanafi dan Syafi’i berpendapat bahwa kulit yang najis atau kulit bangkai dapat menjadi suci dengan disamak. Dalilnya adalah sabda Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Muslim:

إذا دبغ الإهابفقد طهر

Artinya: “Jika kulit sudah disamak, ia menjadi suci.”

Imam an-Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah meriwayatkannya dari Ibnu Abbas dengan bunyi begini:

أيهما إهاب دبغ فقد طهر

Artinya: “Setiap kulit yang disamak berarti telah suci.”

Adapun organ-organ keras dari tubuh bangkai yang tidak ada darahnya (seperti: tanduk, tulang, gigi, gading gajah, kuku sapi atau unta dan sejenisnya, bulu domba atau kambing, urat dan abomasum yang keras) adalah suci, tidak najis menurut jumhur.

Sedangkan mazhab Syafi’i berpendapat bahwa Organ tubuh bangkai semuanya najis, termasuk abomasum, susu, dan telur yang bersambung dengan bangkai itu, kecuali jika diambil dari bayinya yang menyusu karena masing-masingnya dihalalkan oleh faktor kehidupan.

Dalil Jumhur adalah hadis Salman r.a. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Rasulullah Saw pernah ditanya tentang mentega, keju, dan pakaian dari bulu unta, lalu beliau Saw bersabda:

الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا الله

Artinya: “Yang halal adalah apa yang dihlalkan Allah dalam kitab-Nya, dan yang haram adalah apa yang diharamkan-Nya dalam kitab-Nya, sedangkan apa yang tidak disebutkan-Nya tergolong dimaafkan (diperbolehkan untuk dimakan).”

Benda yang kemasukan tikus: kalau tikus itu dikeluarkan dalam keadaan masih hidup, benda itu suci, tapi kalau tikus itu mati di dalamnya dan benda itu cair maka seluruhnya menjadi najis.

Namun, api kalau ia padat, yang najis hanya bagian di sekitar tikus itu, maka ia berikut bagian di sekelilingnya harus dibuang, sedang sisanya masih suci dan boleh dipergunakan. Dalilnya adalah hadis: bahwa Nabi Saw pernah ditanya tentang tikus yang jatuh ke dalam mentega lalu mati. Beliau menjawab:

إن كان جامدا فاطرحواها وما حولها وإن كان مائعا فأريقوه

Artinya: “Kalau mentega itu padat, buanglah bangkai tikus itu dan bagian mentega di sekelilingnya. Tapi kaiau mentega itu cair, buanglah semua.”

Kalau ada hewan (burung atau lainnya) yang jatuh ke dalam kuali, Ibnu Wahb meriwayatkan dari Malik bahwa ia berkata, “Isi kuali itu tidak boleh dimakan. Ia menjadi najis karena sudah tercampuri bangkai.”

Sedangkan Ibnul Qasim meriwayatkan dari Malik bahwa ia berkata; “Daging dalam kuali itu dicuci sedang kuahnya dibuang.” Ibnu Abbas berkata, “Dagingnya dicuci lalu dimakan.”

Tentang darah, para ulama sepakat bahwa ia haram dan najis, tidak boleh dimakan dan dimanfaatkan, jika ia masfuuh (mengalir keluar dari tubuh) sebab pengharaman darah dibatasi dengan sifat tersebut di dalam surah al-An’aam.

Para ulama berijmak bahwa hukum yang mutlak dalam surah al-Baqarah ini diartikan dengan hukum yang muqayyad dalam surah al-An’aam, maka dari itu mereka hanya mengharamkan darah yang masfuuh. Kata Aisyah:

“Seandainya Allah tidak berfirman au daman masfuuhan (QS. al-An’aam: 145), tentu manusia terpaksa harus mencari-cari darah yang ada di urat-urat,”

Dengan demikian, darah yang mencampuri daging dan ada di dalam urat-urat tidak haram, dengan ijmak. Begitu pula hati dan limpa tidak haram dimakan, dengan ijmak, dengan mengkhususkan darah yang haram-menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i-dengan sabda Nabi Saw:

“Telah dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah”

Lalu beliau menyebutkan hati dan limpa. Sedangkan menurut Malik, di sini tidak ada pengkhususan, karena-dalam pandangan mata dan kebiasaan masyarakat-hati dan limpa bukan termasuk daging maupun darah.

Adapun babi, dagingnya haram. Demikian pula lemaknya haram, dengan mengiaskannya kepada daging, karena daging mencakup lemak. Dan inilah yang benar.

Sedangkan mazhab Zhahiri membatasi keharamannya pada daging saja, tidak mencakup lemak. Mereka berpedoman kepada prinsip mereka: berpegang kepada lahiriah nash saja, karena Allah berfirman: (وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ) “dan daging babi”.

Pendapat mereka dibantah begini: Fungsi penyebutan “daging” adalah karena babi rnerupakan hewan yang disembelih demi dagingnya, dan tidak masuk akal pembedaan antara daging dan lemak.

Boleh melubangi dengan bulu babi. Menurut sebuah riwayat, seorang pria pernah menanyai Rasulullah Saw tentang melubangi dengan bulu babi, dan beliau bersabda, “Tidak apa-apa.”

Tentang hewan yang disembelih untuk selain Allah (yakni pada saat disembelih disebutkan selain nama Allah Ta’ala), yaitu sembelihan orang Majusi yang menyembelih untuk api, penyembah berhala yang menyembelih untuk berhalanya, dan orang ateis yang menyembelih untuk dirinya sendiri, adalah haram, dengan kesepakatan para ulama.

Bagi orang yang berada dalam keadaan darurat sehingga terpaksa memakan barang-barang haram ini, ia boleh memakannya sampai kenyang menurut Imam Malik, karena kondisi darurat.

Sedangkan menurut jumhur, orang yang dalam keadaan darurat hanya boleh makan sampai batas terselamatkannya nyawanya, karena hukum pembolehan bangkai ini adalah darurat, maka kadarnya diperhitungkan sesuai dengan kondisi darurat itu. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)