Hukum Mandi Haid dan Tata Caranya berdasarkan Hadis
Wanita Ahli Kitab dipaksa mandi dari haid (menurut pendapat Malik dalam riwayat Ibnul Qasim) agar ia halal disetubuhi oleh suaminya (yang beragama Islam).
Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci...” dengan mandi menggunakan air.
Dalam ayat di atas Allah Swt tidak mengkhususkan perintah mandi dari haid ini bagi wanita muslim saja, melainkan memberlakukannya atas wanita muslim dan lainnya.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat mazhab Syafi’i dan Hambali yang mengatakan bahwa orang kafir dibebani dengan hukum-hukum syariat yang termasuk hal-hal furu’i.
Sedangkan mazhab Hanafi berkata: Orang kafir tidak dibebani dengan hal-hal furuu’ yang diperintahkan syariat Islam.
Cara mandi dari haid sama dengan cara mandi junub. Wanita yang mandi dari haid tidak harus melepas gelung rambutnya, menurut mazhab Hanafi dan Maliki, dengan dalil hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ummu Salamah, katanya:
Aku pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, saya menggelung rambut saya dengan erat. Apakah saya harus melepasnya kalau mandi junub?” Beliau Saw bersabda:
لا، إنما يكفيك أن تحثي على رأسك ثلاث حثيات ثم تفيضين عليك الماء فتطهرين
Artinya: “Tidak. Sebenarnya kamu cukup menuangkan air tiga kali ke kepalamu kemudian menyiram seluruh tubuhmu. Dengan begitu kamu sudah suci.”
Sedangkan menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, gelung rambut harus dilepas jika air tidak dapat mencapai bagian dalamnya kecuali jika dilepas. Dalilnya adalah riwayat Bukhari dari Aisyah bahwa Nabi Saw pernah bersabda kepadanya tatkala ia sedang haid:
خذي ماءك وسدرك وامتشطي
Artinya: “Ambillah dan air bidara lalu sisirlah rambutmu.”
Perintah ini menunjukkan keharusan melepas gelung rambut sebab “menyisir” hanya dapat dilakukan pada rambut yang tidak digelung.
Mazhab Imam Hambali mengkhususkan keharusan ini pada haid atau nifas. Mereka tidak mengharuskan melepas gelung pada saat mandi junub apabila air dapat mencapai kulit kepala, dan ini didasarkan kepada hadits Ummu Salamah. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)