Hukum Orang yang Murtad dari Islam
Alfailmu.com - Ayat “ومن يَرْتَدِدْ” (QS. Al-Baqarah: 217) yang berarti “barangsiapa keluar dari Islam dan kembali kepada kekafiran”, merupakan ancaman bagi kaum muslimin agar mereka tetap berpegang kepada agama Islam.
Kaum muslimin sepakat bahwa kemurtadan menggugurkan dan menghapus semua amal. Bagi terhapusnya amal ini, apakah disyaratkan mati dalam keadaan murtad.
Imam Syafi’i menyimpulkan dari ungkapan “فيمت وهو كافر” uahwa gugurnya amal akibat kemurtadan ini disyaratkan mati dalam keadaan kafir.
Lahiriah ayat tersebut menguatkan pendapatnya. Ia menunjukkan bahwa kemurtadan tidak menggugurkan amal kecuali jika orang yang murtad itu mati dalam keadaan kafir.
Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah memandang bahwa semata-mata murtad itu saja sudah menggugurkan amal meskipun orang itu kembali lagi ke agama Islam.
Mereka berpegang kepada keumuman ayat-ayat berikut:
“...Niscaya akan hapuslah amalmu...” (QS. az-Zumar:65)
“...Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. al-An’am:88)
“...Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka sungguh, sia-sia amala mereka...” (QS. al-Maaidah: 5)
Ayat-ayat ini berbicara tentang kemurtadan saja. Di dalam ayat-ayat ini gugurnya amal dikaitkan hanya dengan kesyirikan dan, meskipun khithaab-nya ditujukan kepada Nabi Saw, yang dimaksud adalah umatnya karena mustahil beliau berbuat syirik.
Adapun ayat “ومن يَرْتَدِدْ” (QS. Al-Baqarah: 217) yang sedang kita tafsirkan ini menyebutkan dua vonis: gugurnya amal dan kekal di dalam neraka, dan di antara syarat syarat kekekalan di neraka adalah orang itu mati dalam kekafirannya.
Mazhab Imam Syafi’i memandang bahwa ayat “لَئِنْ اشركت ليحبطنَّ عملك” terhitung sebagai tegur- an keras terhadap Nabi Saw, serupa dengan teguran keras atas istri-istri beliau dalam firman-Nya:
“Wahai istri-istri Nabi! Barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azabnya akan dilipat-gandakan dua kali lipat kepadanya.” (QS. al- Ahzaab: 30)
Dampak perbedaan pendapat ini terlihat dalam masalah orang yang berhaji kemudian ia murtad lalu masuk Islam lagi.
Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah, ia masih berkewajiban menunaikan haji lagi karena kemurtadannya tadi telah menggugurkan hajinya.
Sedangkan menurut Syafi’i, ia tidak wajib haji lagi sebab hajinya sudah terlaksana dan kemurtadan itu tidak menggugurkannya kecuali jika ia mati dalam kondisi masih kafir. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)
