Hukum Membunuh Seorang Muslim yang Membunuh Orang Kafir

Hukum Membunuh Seorang Muslim yang Membunuh Orang Kafir

Kalau orang merdeka tidak dibunuh lantaran ia membunuh budak (menurut pendapat jumhur), berarti orang Islam pun tidak dibunuh lantaran membunuh orang kafir dzimmi.

Alasannya karena kekurangan budak terletak pada statusnya sebagai budak, yang mana hal itu merupakan dampak kekafirannya, dan karena itu orang Islam tidak dibunuh gara-gara ia membunuh orang kafir.

Tampak bagi kita bahwa pendapat mazhab Hanafi mewujudkan keselarasan antara bagian awal ayat dan bagian akhirnya. Jadi, budak setara dengan orang merdeka, dan orang Islam sebanding dengan orang kafir dzimmi dalam hat terpeliharanya jiwanya, sebab orang kafir dzimmi itu terlindungi jiwanya untuk selamanya.

Adapun pendapat jumhur tidak menghasilkan keselarasan antara permulaan dan akhir ayat, sebab mereka menetapkan bahwa orang merdeka tidak dibunuh lantaran membunuh budak, sedangkan lelaki dibunuh gara-gara membunuh perempuan, dan begitu pula sebaliknya.

Akan tetapi Sunnah Nabi memaksa kita untuk merenungkan kembali makna ayat ini. Jumhur berkata: Ayat ini menjelaskan hukum satu jenis apabila membunuh jenisnya.

Hala tersebut menjelaskan hukum orang merdeka apabila membunuh orang merdeka, hukum budak apabila membunuh budak, dan hukum wanita apabila membunuh sesama wanita. Surah Al-Baqarah ayat 178 ini tidak menyinggung masalah salah satu jenis apabila membunuh jenis lain.

Dengan demikian, ayat ini muhkam, dan ia bersifat global, kemudian Nabi Saw menjelaskannya dengan Sunnah beliau ketika beliau membunuh lelaki Yahudi lantaran ia membunuh seorang perempuan.

Rasulullah Saw juga tidak membolehkan membunuh orang merdeka gara-gara ia membunuh budak dan orang Islam gara-gara membunuh orang kafir.

Pendapat madzhab Hanafi yang membolehkan membunuh orang Islam apabila ia membunuh orang kafir diperkuat dengan hadis yang diriwayatkan oleh ath-Thahawi dari Muhammad ibnul Munkadir, bahwa Nabi Saw menjatuhkan hukuman qishash terhadap seorang muslim lantaran ia membunuh orang kafir dzimmi, dan Beliau Saw bersabda:

أنا أحق من وفى بذمته

Artinya: “Aku adalah orang yang paling berhak untuk menepati janji dzimmahnya.

Diriwayatkan bahwa Umar dan Ali pernah menjatuhkan qishash atas orang muslim lantaran ia membunuh orang kafir dzimmi, dan Ali berkata, “Kita telah memberi mereka janji keamanan agar darah (nyawa) mereka seperti darah (nyawa) kita dan diat mereka seperti diat kita.”

Hadis yang berbunyi:

لا يقتل مؤمن بكافر ولا ذو عهد بعهده

Artinya: “Seorang mukmin tidak dibunuh lantaran ia membunuh orang kafir, dan begitu pula orang kafir yang telah diberi janji keamanan oleh umat Islam.

Hadis di atas ditakwilkan oleh madzhab Hanafi begini: orang Islam dan orang kafir yang punya janji keamanan tidak dibunuh lantaran membunuh orang kafir harbi, sebab-berdasarkan ijmak orang kafir yang punya janji keamanan dibunuh bila ia membunuh orang kafir lain yang juga punya janji keamanan.

Karena itu “orang kafir” yang disebutkan pertama dalam hadis di atas mesti dipersempit cakupannya dengan label “harbi” sebagaimana “orang kafir” yang disebutkan kedua pun dipersempit dengan label “harbi” ini, sebab sifat yang disebutkan setelah beberapa kata merujuk kepada seluruh kata itu.

Dengan demikian, taqdiir (kira-kira) bunyi hadis di atas begini: “لا يقتل مؤمن بكافر حربي ولا ذو عهد بكافر حربي”, yakni “orang Islam tidak dibunuh lantaran membunuh orang kafir harbi, dan orang kafir yang punya janji keamanan juga tidak dibunuh lantaran membunuh orang kafir harbi”.

Karena orang kafir dzimmi dibunuh bila ia membunuh orang kafir dzimmi, maka dapat dimengerti bahwa yang dimaksud dengan “orang kafir” adalah orang kafir harbi, sebab dialah orang yang bila dibunuh maka pembunuhnya (yang orang Islam atau orang kafir dzimmi) tidak diqishash.

Jumhur membantah bahwa hadis “Aku adalah orang yang paling berhak untuk menepati janji keamanannya” adalah hadis mursal dari Nabi Saw, dan Abdurrahman ibnul Bailamani meriwayatkannya dari Ibnu Umar.

Sementara Abdurrahman ini lemah hadisnya, tidak bisa menjadi hujjah apabila ia meriwayatkan secara maushuul (bersambung sanadnya), apalagi kalau ia meriwayatkannya secara mursal. 

Daraquthni berkata: hadis ini tidak diriwayatkan secara bersambung sanadnya kecuali oleh Ibrahim bin Abi Yahya, dan orang ini matruukul-hadiits (tidak bisa diterima baditsnya).

Adapun hadis “begitu pula orang kafir yang telah diberi janji keamanan” merupakan kalimat yang sempurna, tidak memerlukan taqdiir (pengira-ngiraan).

Kalimat itu adalah jumlah musta‘nafah (kalimat baru yang independen dari kalimat sebelumnya) untuk menjelaskan keharaman menumpahkan darah kaum kafir dzimmi selama mereka tidak melanggar janji keamanan mereka. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)