Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

3 Tingkatan Puasa Menurut Imam Al-Ghazali

Alfailmu.com - Puasa merupakan salah satu ibadah yang sifatnya tersembunyi karena orang lain tidak akan bisa menebak kita berpuasa atau tidak. Sehingga puasa menjadi berbeda dengan ibadah-ibadah lain, seperti shalat, haji, dan zakat. Namun, Sekalipun puasa merupakan ibadah yang tersembunyi, tetapi puasa juga mempunyai derajat atau tingkatan yang berbeda-beda bagi setiap orang. 

   Foto: islam.nu.or.id

Imam Al-Ghazali di dalam Kitab Ihya 'Ulumuddin yang diterjemahkan oleh Syeikh 'Abdus Shamad Al-Falambani ke dalam Kitab Siyarus Salikin menyebutkan bahwa puasa mempunyai tiga tingkatan yang berbeda bagi setiap orang. Nah, penasaran tingkatan apa saja? Berikut urutan dan keterangannya!

3 Tingkatan Puasa Menurut Imam Al-Ghazali

1. Puasa orang awam (orang biasa)

Pertama, puasa orang awam (orang biasa), yakni puasanya kebanyakan orang. Pada tingkatan ini orang berpuasa hanya menahan diri dari makan makan, minum, jimak (berhubungan badan), dan menahan dari hal-hal lainnya yang dapat membatalkan puasa. 

2. Puasa orang khawas (khusus)

Kedua, puasa orang khawas (khusus), yaitu puasa shalihin (orang-orang saleh) dan muttaqin (orang-orang bertakwa). Pada tingkatan ini orang yang berpuasa tidak hanya menahan diri dari yang tersebut pada tingkatatan awam, tetapi juga menjaga anggota tubuh dari berbuat maksiat kepada Allah SWT dan menahan diri dari perbuatan sia-sia yang tidak bermanfaat bagi negeri akhirat.

Adapun untuk mencapai tingkatan puasa ini perlu menghindari diri dari beberapa hal, yaitu sebagai berikut:

a) Menjaga dua mata agar tidak melihat hal-hal yang diharamkan

Menjaga dua mata agar tidak melihat hal-hal yang diharamkan, begitu juga hal-hal mubah yang dapat melalaikan hati dari mengingat Allah Ta'ala. Dalam puasa orang khawas, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah SAW bahwa selain hal biasa yang dapat membatalkan puasa, ada 5 hal lain yang juga dapat membatalkan puasa, yaitu:
  1. Kazab (berdusta),
  2. Ghibah (mengupat),
  3. Namimah (adu domba), 
  4. Sumpah palsu serta melihat dengan rasa syahwat.

b) Menjaga lidah agar tidak mengucapkan perkataan yang tidak baik

Memelihara lidah agar tidak mengucapkan perkataan yang diharamkan atau perkataan mubah yang sia-sia serta tidak ada manfaat untuk akhirat, seperti perkataan-perkataan jorok, makian dan saling berbantah-bantah.

c) Menghindari dari mendengar perkataan yang tidak bermanfaat

Ketiga, menghindari dari mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, baik perkataan-perkataan yang haram, maupun yang makruh. Begitu juga, menjaga tangan dan kaki dari mengerjakan perbuatan haram, makruh, maupun yang sia-sia.

d) Menjaga perut dari memakan makanan yang tidak jelas

Dalam puasa khawas, penting juga menjaga perut dari memakan makanan yang haram maupun syubhat (tidak jelas hahal atau haram) serta jangan makan terlalu banyak tatkala berbuka puasa hingga perut menjadi penuh. Sehingga makanan tersebut menjadikan puasa sia-sia. Sabda Rasulullah SAW:

كم من صائم ليس له من صومه إلا الجوع والعطش
Artinya: "Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya rasa lapar dan dahaga."

Para ulama berbeda-beda dalam menafsirkan hadis di atas, ada yang berpendapat bahwa puasanya menjadi sia-sia karena berbuka dengan makanan yang haram. Ada yang berpendapat bahwa puasanya menjadi sia-sia karena berbuka sambil mengupat, dan hukum upat adalah haram.

Ada pula ulama yang menafsirkan bahwa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya karena tidak menjaga anggota tubuh dari perbuatan dosa.

e) Selalu bersifat dengan khauf dan raja'

Setelah berbuka, semestinya orang yang berpuasa tersebut senantiasa dalam sifat khauf (takut kepada Allah, dan raja' (pengharapan kepada Allah). Karena tidak satu orang pun yang tahu apakah puasanya diterima oleh Allah seperti muqarrabin (orang yang dekat dengan Allah) atau tidak diterima, seperti orang-orang yang dimurkai oleh Allah SWT. Maka sebaiknya khauf dan raja' ini diwujudkan dalam setiap ibadah, baik puasa maupun ibadah yang lain.

3. Puasa orang khawasul-khawas (orang khusus dari yang khusus)

Tingkatan puasa terakhir, yang ketiga ialah puasa orang khawasul khawas (orang khusus dari yang khusus) yaitu puasa orang-orang yang hatinya senantiasa mengingat Allah Ta'ala, tidak memikirkan dunia dan hal lain selain Allah azza wa jalla.

Oleh karena itu, puasa pada tingkatan ini menjadi batal dengan memikirkan hal lain selain Allah, memikirkan pekerjaan dunia, serta memikirkan hal lain yang tiada manfaat untuk akhirat. Derajat puasa yang ketiga ini hanya mampu dicapai oleh para nabi, shadiqin (orang-orang yang benar), muqarrabin yang 'arifin (orang yang dekat dan mengenal Allah). Karena hati mereka selalu berhadapan dengan Allah Swt dan tidak pernah berpaling kepada hal yang lain.

Demikian 3 Tingkatan Puasa Menurut Imam Al-Ghazali, mana tingkatan puasamu? Wabillahi at-tawfiq

Sumber:
Syeikh 'Abdus Shamad Al-Falambani, Siyarus Salikin fi Thariqat as-Sadat as-shufiyyah, (Indonesia: Al-Haramain, t.th), 134-136.