Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah: Warisan dan Wasiat dalam Islam

Makalah Fiqih tentang Faraidh (Warisan) dan Wasiat

BAB I PENDAHULUAN


Warisan dan Wasiat dalam Islam
Gambar: nikmatislam.com

A. Latar Belakang

Alfailmu.com - Harta adalah salah satu benda berharga yang dimiliki manusia. Karena harta itu, manusia dapat memperoleh apapun yang dikehendakinya. Harta itu dapat berwujud benda bergerak atau benda tidak bergerak.

Cara memperoleh harta pun kian beragam. Dari cara yang halal seperti bekerja keras hingga orang yang menggunakan “jalan pintas”. Diantara beberapa  cara memperoleh harta itu adalah melalui jalur warisan yaitu memperoleh sejumlah harta yang diakibatkan meninggalnya seseorang dan dengan wasiat yaitu pemberian bisa berbentuk harta yang diterima setelah yang mewasiatkan meninggalkan dunia.

Tentunya cara-cara ini pun harus sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Melalui berbagai syarat dan ketentuan yang diatur dalam hukum Islam tersebut diharapkan seorang generasi penerus keluarga atau anak dari salah satu orang tua yang meninggal dapat memperoleh harta peninggalan orang tuanya dengan tidak menzalimi atau merugikan orang lain.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu warisan?
2. Apa hubungan warisan dengan hibah?
3. Apa pengertian wasiat, syarat, dan rukun-rukunnya?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang berkaitan dengan warisan.
2. Untuk mengetahui hubungan warisan dengan hibah.
3. Untuk mengetahui pengertian wasiat, syarat, dan rukun-rukunnya.

BAB II PEMBAHASAN

A. Hukum Warisan

1. Pengertian Warisan (Faraidh)
Faraidh secara bahasa adalah bentuk jama’ dari kata "فريضة" yang berarti kepastian atau perkiraaan.[1] Sedangkan menurut istilah faraidh adalah ilmu yang membahas tentang tata cara membagi harta peninggalan seseorang yang meninggal kepada yang berhak menerimanya [2] atau bisa dikatakan faraidh adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup.[3]

Ketentuan-ketentuan tentang ilmu warisan, khususnya yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, pokok-pokoknya telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an telah menjelaskannya dengan jelas dan tegas. Bahkan tidak ada hukum-hukum yang dijelaskan secara terperinci seperti hukum warisan ini, antara lain dijelaskan dalam QS. An-Nisa’: 7-14, Al-Ahzab: 6, dan surah-surah lain.

Kalau kita melihat hadits Nabi Saw yang memerintahkan mempelajari ilmu warisan, maka hukum mempelajarinya adalah wajib. Sebagaimana dalam satu qaidah ushul fiqh yang artinya, “Asal hukum perintah adalah wajib”. Pengertian  wajib disini adalah wajib kifayah, artinya jika di suatu tempat tertentu ada yang mempelajarinya maka sudah terpenuhi tuntutan Rasul. Tapi jika tidak ada yang mempelajarinya, maka semua orang akan berdosa.[4]

2. Hal-hal yang Didahulukan Sebelum Warisan Dibagi
Hal-hal berkaitan dengan harta peninggalan yang harus didahulukan sebelum harta warisan dibagi, diantaranya ialah sebagai berikut:

  1. Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya.
  2. Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang artinya,  "Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan”.
  3. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya.
  4. Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya), kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris jika ada).[5]

B. Ahli Waris dan Bagian-Bagian Yang Telah Ditentukan

Ahli waris ialah orang-orang yang bisa memperoleh warisan dari seseorang yang telah meninggal. Ahli waris dapat dilihat dari dua segi, pertama, dari jenis kelamin, yaitu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Kedua, dari segi atas warisan, yaitu terdiri dari dzawil furudh dan ‘ashabah.

1. Ahli waris laki-laki
Orang yang memperoleh warisan dari orang laki-laki, seperti yang telah disepakati berhak menerima warisan, maka secara ringkas ada 10 orang [6], dan jika diperluas menjadi 15 orang, yaitu :
  • Ayah
  • Kakek (ayah bapak) dan seterusnya keatas
  • Anak laki-laki 
  • Cucu laki-laki dari anak laki-laki 
  • Saudara laki-laki kandung
  • Saudara laki-laki se-ayah
  • Saudara laki-laki seibu
  • Anak laki-laki dari saudara laki-laki se-kandung
  • Anak laki-laki dari saudara laki-laki se-ayah
  • Paman se-kandung
  • Paman se-bapak
  • Anak laki-laki paman se-kandung
  • Anak laki-laki paman se-ayah
  • Suami
  • Laki-laki yang memerdekakan budak
2. Ahli waris perempuan
  • Ibu
  • Nenek dari pihak ibu dan seterusnya keatas
  • Nenek dari dari ayah
  • Anak perempuan
  • Cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki
  • Saudara perempuan se-kandung
  • Saudara perempuan se-ayah
  • Saudara perempuan se-ibu
  • Istri
  • Perempuan yang memerdekakan budak.[7]
3. Bagian-bagian yang telah ditentukan
Ahli waris yang bagian-bagiannya telah ditentukan dalam Al-Qur’an ada enam, yaitu :
  • 2/3 (dua pertiga)
  • 1/2 (setengah)
  • 1/3 (sepertiga)
  • 1/4 (seperempat)
  • 1/6 (seperenam)
  • 1/8 (seperdelapan)
Masing-masing bagian diatas adalah untuk ahli waris sebagai berikut :

a. 2/3 (dua pertiga)
Ahli waris yang mendapat 2/3 adalah :

  1. Dua anak perempuan atau lebih, apabila tidak ada anak laki-laki
  2. Dua orang cucu perempuan dari anak laki-laki apabila tidak ada; anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki kandung, ayah, kakek dari pihak ayah.
b. 1/2 (setengah)
Ahli waris yang memperoleh 1/2 adalah :
  1. Anak perempuan tunggal, jika tidak ada anak laki-laki
  2. Cucu perempuan tunggal, apabila tidak ada; anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan.
  3. Saudara perempuan kandung tunggal, apabila tidak ada; anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, ayah, kakek dari pihak ayah.
  4. Saudara perempuan se-bapak tunggal, apabila tidak ada; anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki se-ayah, saudara perempuan kandung, kakek dari pihak ayah.
  5. Suami, apabila tidak ada; anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki.
c. 1/3 (sepertiga)
Ahli waris yang memperoleh 1/3 adalah :
  1. Ibu, apabila tidak ada; anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki, dua saudara atau lebih, baik laki-laki atau perempuan.
  2. Dua orang saudara atau lebih seibu, baik laki-laki maupun perempuan, apabila tidak ada; anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki, ayah, kakek dari pihak ayah.
d. 1/4 (seperempat)
Ahli waris yang memperoleh 1/4 adalah :
  1. Suami, apabila ada; anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki.
  2. Istri, apabila tidak ada; anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki.
e. 1/6 (seperenam)
Ahli waris yang memperoleh 1/6 adalah :
  1. Ayah, jika ada; anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki.
  2. Ibu, apabila ada; anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki, dua orang saudara atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan.
  3. Nenek baik dari pihak ayah maupun pihak ibu, apabila tidak ada; ibu, ayah (khusus nenek dari pihak ayah).
  4. Cucu perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada; anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan lebih dari satu orang.
  5. Saudara perempuan se-ayah dengan syarat bersamanya ada seorang saudara perempuan se-kandung, apabila tidak ada; anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki se-ayah.
  6. Saudara seibu tunggal, apabila tidak ada; anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki, ayah, kakek dari pihak ayah.
f. 1/8 (seperdelapan)
Ahli waris yang memperoleh 1/8 adalah istri, apabila ada salah seorang; anak laki laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki.[8]

C. Masalah-masalah Dalam Harta Warisan dan Metode Perhitungannya

a. Al-‘Aul
Menurut jumhur sahabat dan empat mazhab, ‘aul adalah nilai bagian melebihi asal masalah dalam pembagian kepada ahli waris. Orang yang pertama kali memutuskan teori ‘aul adalah Umar bin Khatab r.a. Yaitu dalam kasus ahli waris sebagai berikut; suami dan dua saudari atau suami, ibu dan saudari kandung.[9]

Misalnya:
Ahli waris terdiri dari suami dan dua orang saudara perempuan kandung. Bagian suami 1/2 dan dua saudara perempuan kandung 2/3. Asal masalahnya adalah 6, jadi
Suami = 1/2 x 6  = 3
2 Saudara pr. kandung = 2/3 x 6  = 4
Jumlah bagian = 7
Asal masalah 6 sedangkan jumlah bagian 7, ini berarti tidak cocok, maka:
Suami = 3/7 x harta warisan
2 saudara pr. kandung = 4/7 x harta warisan.

b. Ar-Radd
Ar-Radd secara bahasa berarti “mengembalikan”, sedangkan menurut istilah Ar-Radd ialah membagi sisa harta warisan kepada ahli waris menurut masing-masing bagiannya. Ar-Radd dilakukan karena setelah harta diperhitungkan untuk ahli waris, ternyata masih ada sisa harta. Sedangkan ahli waris tidak ada ‘ashabah.
Misalnya:
Ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan dan ibu. Bagian anak perempuan 1/2 dan ibu 1/6. Asal masalahnya adalah 6, jadi
Anak perempuan = ½ x 6   = 3
Ibu = 1/6 x 6 = 1
Jumlah = 4
Asal masalah adalah 6, sedangkan jumlah bagian 4, maka:
Anak perempuan = ¾ x harta warisan
Ibu = ¼ x harta warisan.

c. Gharawin 
Gharawin adalah dua masalah yang terang cara penyelesaiannya. Dua masalah tersebut adalah, pertama, pembagian warisan jika ahli warisnya: suami, ibu, dan bapak. Kedua, pembagian warisan jika ahli warisnya: istri, ibu, dan bapak. Dua masalah tersebut berasal dari Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Tsabit. Kemudian disepakati oleh jumhur Fuqaha.

Misalnya: 
harta peninggalan Rp. 30.000.000,-
a) Untuk masalah pertama maka bagian masing-masing, suami 1/2, ibu 1/3 dan bapak ‘ashabah, maka
Suami = ½ x Rp. 30.000.000   = Rp. 15.000.000,-
Sisa = Rp. 15.000.000,-
Ibu = 1/3 x Rp. 15.000.000 = Rp. 5.000.000,-
Bapak ‘ashabah = Rp. 10.000.000,-
Jumlah =Rp. 30.000.000,-

b) Untuk masalah kedua maka bagian masing-masing, istri 1/4, ibu 1/3, dan bapak ‘ashabah, maka
Istri = ¼ x Rp. 30.000.000 = Rp. 7.500.000,-
Sisanya = Rp. 22.500.000,-
Ibu = 1/3 x Rp. 22.500.000 = Rp. 7.500.000,-
Bapak ’ashabah = Rp. 15.000.000,-
Jumlah = Rp. 30.000.000,- [10]

D. Warisan dan Hibah

Seperti yang sudah dijelaskan diatas warisan adalah ilmu yang membahas tentang tata cara membagi harta peninggalan seseorang yang meninggal kepada yang berhak menerimanya. Sedangkan Hibah adalah pemberian sesuatu kepada orang lain atas dasar sukarela tanpa imbalan untuk dimiliki di waktu masih hidup.[11]

Kata “di waktu masih hidup”, mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan hak milik itu berlaku semasa hidup. Dan bila beralih sudah matinya yang  berhak,  maka  disebut  wasiat,  tanpa  imbalan,  berarti  itu  semata-mata kehendak se-pihak tanpa mengharapkan apa-apa.[12]

Dari  uraian  di  atas,  dapat  diketahui  bahwa  hibah  merupakan  suatu perbuatan yang terpuji karena memberikan harta dengan sukarela tanpa mengharapkan balasan, tidak tergantung dan tidak disertai dengan persyaratan apapun juga. Didalam hukum islam disebutkan bahwa hubungan hibah dengan waris yaitu hibah orang tua ke anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Fakta,  bahwa  hibah  orang  tua  kepada  anaknya  dapat  diperhitungkan sebagai warisan, telah menjadi tradisi atau urf dikalangan masyarakat Indonesia.

Kemudian, setelah orang tua menghibahkan ini meninggal, dilakukan pembagian  harta peninggalan  kepada ahli warisnya, maka hibah tersebut akan diperhatikan serta diperhitungkan dengan bagian yang semestinya diterima oleh anak-anak yang bersangkutan, bila mereka itu belum menerima bagian dari harta keluarga secara hibah.[13]

E. Hukum Wasiat

1. Pengertian Wasiat
Wasiat menurut bahasa berasal dari bahasa arab washiyyatun yang berarti pesan. Sedangkan menurut istilah wasiat adalah pesan terhadap sesuatu yang  baik, yang harus dilaksanakan atau dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia.

Landasan hukum wasiat adalah sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Al-Baqarah ayat 180, yang artinya, “Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseprang diantara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa”. Bila dilihat dari segi obyek wasiat, maka berwasiat terbagi menjadi lima; wajib, sunat, makruh, dan haram.[14]

2. Syarat dan Rukun Wasiat
Rukun wasiat adalah:
  • Orang yang mewasiatkan (mushi)
  • Orang yang menerima wasiat (musha lahu)
  • Harta/sesuatu yang diwasiatkan (musha bihi)
  • Ijab Qabul (sighat wasiat)
a) Syarat-syarat orang berwasiat:
  • Baligh
  • Berakal sehat
  • Atas kehendak sendiri, tanpa paksaan
b) Syarat-syarat orang yang menerima wasiat:
  • Harus benar-benar ada, meskipun tidak hadir ketika pelaksanaan wasiat
  • Tidak menolak pemberian wasiat
  • Bukan pembunuh yang berwasiat
  • Bukan ahli waris yang berhak menerima warisan
c) Syarat-syarat harta yang diwasiatkan:
  • Jumlah wasiat tidak lebih dari 1/3
  • Harus dapat berpindah milik
  • Harus ada ketika wasiat diucapkan
  • Harus dapat member manfaat
  • Tidak bertentangan dengan hukum syara’
d) Syarat-syarat sighat (lafal) wasiat:
  • Kalimatnya dapat dimengerti dan dipahami, baik lisan maupun tulisan
  • Penerimaan wasiat diucapakan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.[15]
3. Kadar Wasiat
Sebanyak-banyaknya wasiat adalah sepertiga dari harta yang dipunyai oleh orang yang berwasiat. Yaitu harta bersih setelah dikurangi hutang apabila orang yang berwasiat meninggalkan hutang.

4. Hikmah Wasiat
  • Menaati perintah Allah sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an
  • Sebagai amal jariyah seseorang setelah dirinya meninggal dunia
  • Menghormati nilai-nilai kemanusiaan, terutama bagi kerabat atau orang lain yang tidak mendapat warisan.[16]

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan, yaitu:
  1. Faraidh (warisan) adalah ilmu yang membahas tentang tata cara membagi harta peninggalan seseorang yang meninggal kepada yang berhak menerimanya atau bisa dikatakan faraidh adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup.
  2. Hal-hal berkaitan dengan harta peninggalan yang harus didahulukan sebelum harta warisan dibagi, diantaranya ialah segala bentuk keperluan mayit diambil dari hartanya, melunasi hutang-hutangnya, dan menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya.
  3. Di dalam hukum islam disebutkan bahwa hubungan hibah dengan waris yaitu hibah orang tua ke anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Fakta,  bahwa  hibah  orang  tua  kepada  anaknya  dapat  diperhitungkan sebagai warisan.
  4. Menurut istilah wasiat adalah pesan terhadap sesuatu yang  baik, yang harus dilaksanakan atau dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia. Bila dilihat dari segi obyek wasiat, maka berwasiat terbagi menjadi lima; wajib, sunat, makruh, dan haram.

B. Saran

Kami menyadari makalah ini terbatas dan banyak kekurangan untuk dijadikan landasan kajian ilmu, maka kepada para pembaca agar melihat referensi lain yang terkait dengan pembahasan makalah ini demi relevansi kajian ilmu yang akurat. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca sekalian, terima kasih.

Daftar Referensi:

  1. Imron Abu Bakar, Fat-hul Qarib, (Bandung: Menara Kudus. 1984), Jild. 2, h. 2
  2. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Usmani. 2007), Cet. 3, Jild. 3, h. 379
  3. Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010), Cet. 3, h. 147
  4. Djejen Zainuddin dan Munzier Suparta, Fikih, (Semarang: Karya Toha Putra. 2008), h. 102
  5. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra. 1978), h. 107
  6. Imron Abu Bakar, Fat-hul Qarib, Jild. 2 . . . , h. 3
  7. Djejen Zainuddin dan Munzier Suparta, Fikih . . . , h. 109
  8. Djejen Zainuddin dan Munzier Suparta, Fikih . . . , h. 110-112
  9. Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira. 2012), Cet. 2, h. 107
  10. Djejen Zainuddin dan Munzier Suparta, Fikih . . . , h. 122-123
  11. Syayid Sabig, Fiqh Al-Sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikir. 1992), Jild.3, h. 388
  12. Amir Syarifudin, Pelaksana Hukum Waris Islam, (Jakarta: Gunung Agung, 1985), h. 252
  13. Surojo Wignjodiputro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Bandung: Gunung Agung), h. 89
  14. Zainuddin dan Munzier Suparta, Fikih . . . , h. 138-139
  15. Zainuddin dan Munzier Suparta, Fikih . . . , h. 139-140
  16. Djejen Zainuddin dan Munzier Suparta, Fikih . . . , h. 141