Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Antara Syariat, Thariqat, dan Hakikat dalam Ilmu Tasawuf

Alfailmu.com - Sebagai penuntut ilmu yang mempelajari berbagai bidang keilmuan dalam Islam tentu pernah mendengar istilah syariat, thariqat dan hakikat. Khususnya bagi mereka yang sedang mendalami ilmu tasawuf pasti tidak asing lagi dengan ketiga istilah tersebut. 

antara syariat, thariqat dan hakikat dalam ilmu tasawuf

Syariat, Thariqat, dan Hakikat dalam Ilmu Tasawuf

Nah, pada tulisan kali ini penulis akan mengutip penjelasan Syeikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi tentang pengertian syariat, thariqat, dan hakikat, konsep serta hubungan ketiga istilah tersebut.

Pengertian Syariat, Thariqat, dan Hakikat

Syeikh Shawi menjelaskan bahwa "syariat" ialah sekumpulan hukum yang telah dibebankan kepada manusia oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW, meliputi hal-hal yang wajib, sunat, haram, makruh, dan mubah. Berbeda dengan Syeikh Shawi, sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa syariat ialah menjalankan agama dengan menjunjung segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. 

Adapun "thariqat" ialah beramal dengan yang wajib dan sunat, meninggalkan segala larangan dan tidak berlebihan pada hal yang mubah (boleh). Dilanjutkan dengan melakukan hal yang lebih pasti seperti wara', melatih jiwa, berjaga malam, lapar, dan banyak diam.

Sedangkan, "hakikat" ialah mengetahui kebenaran dari segala sesuatu, seperti syuhud (dapat melihat) nama, sifat dan zat Allah SWT dengan mata hati, dapat mengetahui rahasia Al-Qur'an, rahasia segala larangan dan kemubahan dalam agama.

Begitu pula orang yang sudah mencapai pangkat hakikat dapat mengetahui hal-hal yang gaib, di mana hal gaib tersebut tidak mungkin dipelajari dari seorang guru. Karena pengetahuan tentang hal-hal yang gaib langsung dari Allah SWT (ilham), sebagaimana firman-Nya:

يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ إِن تَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا .....

Artinya: Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Allah memberikan kepadamu Furqan, ....  (QS. Al-Anfal: 29)

Maksud "furqan" dalam ayat di atas disebutkan oleh ulama ialah pemahaman yang diperoleh dari Allah SWT secara langsung tanpa guru. Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman:

.... وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُ ....

Artinya: .... Bertakwalah kepada Allah dan Allah akan mengajarimu.... (QS. Al-Baqarah: 282)

Maksudnya, Allah SWT akan mengajari manusia tanpa ada perantara dari seorang guru. Sebagaimana kalam Imam Malik rahimahullahuta'ala:

مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Barang siapa yang beramal dengan ilmu yang sudah diketahui, niscaya Allah akan memberikannya ilmu yang belum diketahui.
Perkataan di atas jelas mengisyaratkan kepada syariat, thariqat, dan hakikat. Sehingga dengan demikian, kata "عَلِمَmengisyaratkan kepada syariat, kata "عَمِلَ" kepada thariqat, dan kata "وَرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ" kepada hakikat.

Konsep Syariat, Thariqat, dan Hakikat

Berbicara konsep syariat, thariqat dan hakikat tidak terlepas dari hidayah. Karena setiap amalan dalam syariat semuanya diawali dengan hidayah, jalan menuju Allah Ta'ala. Sedangkan hidayah itu sendiri merupakan buah hasil dari ilmu.

Hidayah tersebut memiliki dua bagian, yaitu permulaan dan penghujung. Permulaan dari hidayah ialah syariat dan thariqat, sedangkan penghujungnya ialah hakikat. Menurut Syeikh al-Islam Imam Al-Ghazali hakikat merupakan buah hasil dari syariat dan thariqat secara bersamaan. Adapun
menurut Imam Shawi, hakikat itu merupakan buah hasil dari thariqat saja.

Selain permulaan dan penghujung, nyatanya hidayah juga memiliki bagian lahir dan batin. Syeikh Nawawi menjelaskan syariat sebagai bagian lahir dari hakikat, sedangkan hakikat merupakan bagian batin dari syariat.

Keduanya, syariat dan hakikat saling melengkapi, dengan makna syariat tanpa hakikat tidak ada hasil, sedangkan hakikat tanpa syariat rusak, tidak ada nilai kebaikan, juga tidak ada hasilnya. 

Hubungan antara Syariat, Thariqat, dan Hakikat

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa antara syariat, thariqat dan hakikat adalah tiga hal yang tidak bisa dipisahkan. Para ulama mengumpamakan syariat sebagai perahu, thariqat sebagai laut, sedangkan hakikat sebagai permata, maka tidak akan mendapatkan permata kecuali dari laut, dan tidak akan dapat mengarungi gelombang laut kecuali dengan perahu.

Ada sebagian ulama yang lain juga mengumpamakan tiga hal tersebut dengan kelapa. Jadinya syariat sebagai kulit yang luar, thariqat sebagai daging, sedangkan hakikat sebagai minyak. Dengan demikian, manusia tidak dapat mendapatkan minyak kelapa, kecuali setelah mengorek daging serta mengupas kulit kelapa. Nah, begitu begitu lah perumpamaan antara syariat, thariqat dan hakikat dalam pandangan ilmu tasawuf. Wallahua'lam bis-shawab

Sumber:
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jawi, Syarh Muraqi al-'Ubudiyah, (Surabaya: Al-Haramain, t.th), h. 4-5