Mengenal Miqat Zamani dalam Ibadah Haji dan Batasnya

Daftar Isi

Alfailmu.com - Miqat merupakan salah satu dari kewajiban haji selain dari ruku-rukunnya. Miqat ini ialah tempat untuk untuk menjatuhkan niat ihram baik haji maupun umrah. Dalam haji maupun umrah dikenal ada dua miqat, yaitu miqat Zamani dan Miqat Makani.

Mengenal Miqat Zamani dalam Ibadah Haji dan Batasnya

Nah, pada artikel ini terlebih dahulu kita membahas seputar miqat zamani dan batasnya.

Miqat Zamani adalah batasan waktu untuk menjatuhkan niat ihram haji dan umrah. Dari segi waktu (Miqat Zamani) batas berniat ihram haji ialah dimulai dari bulan Syawal, Dzul Qaidah dan berakhir pada sepuluh malam serta siang dari bulan Dzul Hijjah.

Mengenai malam hari raya qurban, yaitu tanggal 10, ada satu pendapat bahwa malam tersebut bukan waktu ihram. Sehingga bilapun berihram haji di selain waktu haji, maka akan menjadi umrah menurut pendapat Shahih. 

Alasannya karena ihram sangat berhubungan dan berkaitan. Maka bila waktu tidak menerima apa yang diihrami, maka beralih kepada altematif yang bisa menerimanya, yaitu umrah.

Pendapat lainnya menjatuhkan niat melewati batas miqat zamani, maka tidak menjadi umrah, sebagaimana tidak sah menjadi haji. Namun ra harus melakukan tahallul dengan mengerjakan umrah. Sebagaimana orang yang terlewat dari haji.

Berdasarkan pendapat pertama, bila ia mengerjakan umrah, maka umrah sebagai kewajiban Islam telah tertunaikan darinya. Beda dengan pendapat kedua. Sama aja dalam keab ahannya, antara orang yang tidak mengetahui keadaan dan orang yang mengetahuinya.

Pendapat pertama merupaka pendapat yang unggul, dari yang paling shahih diantara beberapa versi yang menceritakan dua qaul (pendapat) dengan penjelasan yang lalu. Versi kedua memastikan hanya ada pendapat kedua. Versi ketiga menyatakan ihramnya sah secara samar. 

Dengan demikian seseorang yang berniat ihram melewati batas miqat zamani dan mengarahkan ihram kepada umrah, maka menjadi umrah yang sah. Jika tidak, maka harus tahallul dengan ritual umrah.

Maka beberapa pendapat ini juga termasuk dari pendapat Muqabil Shahih. Mushannif memakai redaksi ‘Shahih’ tidak redaksi ‘Qaul Madzhab’ untuk mengisyaratkan pada lemahnya khilaf.

Sumber:
Ust. H. Nailul Huda & Ust. M. Habibi, Terjemah Al-Mahalli, disunting.