Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Siapakah Orang yang ‘Mampu’ dalam Mengerjakan Haji

Alfailmu.com - Haji adalah salah satu dari rukun Islam di mana syariat kewajibannya berdasarkan Istitha’ah (mampu), baik dari fisik maupun biaya/finansial. Allah Ta’ala berfirman: “Yakni orang yang mampu mengadakan perjalanan ke baitullah ..” (QS. Ali Imran: 97)

Siapakah Orang yang ‘Mampu’ dalam mengerjakan Haji

Nah, orang yang mampu ini telah dibahas panjang lebar oleh para fuqaha dengan kesimpulan bahwa mampu berhaji ini ada 2 macam, yaitu orang yang mampu untuk mengerjakan haji sendiri dan orang yang mampu berhaji melalui orang lain. Berikut penjelasan selengkapnya!

Istitha’ah (mampu) untuk mengerjakan haji sendiri

Istitha’ah untuk mengerjakan adalah orang yang mampu melaksanakan ibadah Haji dengan diri sendiri tanpa campur tangan orang lain. Kemapuan ini memiliki beberapa syarat: 

1. Adanya bekal dan biaya PP

Syarat mampu pertama adalah mampu menyiapkan bekal dan ongkos perjalanan haji pulang-pergi. Dalam kitab ungkapan Kitab Al Muharrar disebutkan ‘dan apa-apa yang dibutuhkan dalam perjalanan selama pulang-pergi’.

Dalam Kitab Ar Raudlah ditambahkan juga memiliki cukup bekal untuk keluarga atau kerabatnya yang ditinggalkan selama masa perjalanan hajinya.

Lalu seandainya tidak punya hal di atas, namun dalam perjalanannya ia bisa menghasilkan harta yang mencukupi bekal dan biayanya, sementara jarak perjalanannhya terhitung jauh (yakni dua marhalah atau lebih), maka ia tidak berkewajiban berhaji.

Karena bisa jadi ia terhenti dari penghasilan karena suatu hal yang tiba-tiba. Dengan mengandaikan tidak terhenti penghasilannya, hal ini menggabungkan antara kesulitan dalam perjalanan dan mencari penghasilan akan memperbesar kesulitan dalam melaksanakan haji.

Sedangkan bila jarak perjalanannya pendek, dimana ia dalam sehari bisa menghasilkan kecukupan beberapa hari, maka ia dibebani untuk berhaji. Dengan gambaran ia harus keluar untuk haji dengan alasan minimnya kesulitan dalam kondisi tersebut · 

2. Adanya kendaraan 

Syarat mampu kedua adalah dengan adanya kendaraan bagi orang yang antara tempatnya dan Makkah berjarak 2 marhalah (batas jarak yang boleh jama’-qashar salat), baik ia mampu berjalan atau tidak. Namun, sunnah bagi orang yang mampu berjalan untuk melaksanakan haji.

Lalu bila menggunakan kendaraan, seseorang mendapat kesulitan yang sangat, maka disyaratkan ada Mahmil (tandu/sekedup). Juga disyaratkan ada teman yang duduk di bagian yang lain. Jika tidak mendapati, maka tidak wajib haji.

Dalam masalah mahmil ini, Syekh Al Mahamili dan lainnya memutlakkan bahwa disyaratkan untuk perempuan harus memakai Mahmil, karena itu dapat lebih menutupinya.

Sementara orang-orang yang jarak lokasinya dengan Makkah kurang dari 2 marhalah  ditambah ia adalah oran yang kuat berjalan, maka wajib baginya berhaji serta tidak disyaratkan harus ada hewan kendara.

Sedangkan bila ia tidak kuat berjalan, maka statusnya seperti orang yang jauh dari Makkah. Sehingga disyaratkan baginya ada hewan kendara, dan juga Mahmil jika tidak mungkin baginya naik tanpa Mahmil. 

3. Aman di perjalanan

Terhitung syarat sebagai orang yang mampu dalam melaksanakan haji ialah dengan amannya perjalanan. Hal ini berdasarkan dugaan, dengan menimbang kondisi yang layak baginya. 

Maka bila mengkhawatirkan dalam perjalanan terhadap keselamatan dirinya dan hartanya, dari ancaman macan, misalnya, musuh atau perampok, dan tidak ada jalan selain itu, maka tidak wajib berhaji baginya.

Meskipun perampok mau menerima pemberian yang sedikit. Makruh mernberikan harta kepada mereka, karena hal itu akan memotivasi mereka mengganggu manusia. Sama saja antara orang yang ia khawatirkan adalah muslim atau kafir.

4. Mampu bertahan di atas kendaraan

Yang keempat dari syarat mampu haji adalah mampu bertahan di atas hewan kendara. Oleh karena itu, orang yang tidak kuat di atas hewan kendara sama sekali atau mampu bertahan di atasnya menggunakan Mahmil dengan amat kesulitan, dengan alasan sakit atau lainnya, maka tidak wajib baginya berhaji sendiri.

Imam Ar Rafi’I menambahkan dengan mengutip penjelasan dari Al-Baghawi dan lainnya bahwa termasuk dari syarat amannya perjalanan ialah dengan mendapat rombongan yang ia keluar bersama mereka sesuai dengan adat kebiasaannya.

Syekh Al Mutawalli berkata, “Maka bila jalan itu sekiranya tidak ada satupun hal yang mengkhawatirkan di dalamnya, maka tidak perlu rombongan.

Istitha’ah (kemampuan) melaksanakan haji melalui orang lain

Istitha’ah (kemampuan) haji versi kedua adalah mampu melaksanakan haji melalui perantara/bantuan orang lain. Oleh karena itu, orang yang telah meninggal dan ia memiliki tanggungan haji, maka wajib menghajikannya menggunakan harta peninggalannya, layaknya hutang-hutang yang wajib dilunasi dengan harta peninggalannya.

Sementara bila si mayit tidak memiliki harta peninggalan, sunnah bagi ahli waris menghajikannya. Jika ahli waris menghajikan dengan dirinya sendiri atau melalui sewa jasa, maka gugur kewajiban haji dari mayit.

Apabila orang lain menghajikannya, maka boleh meskipun ahli waris tidak mengizininya. Sebagaimana melunasi hutangnya tanpa izin dari ahli waris. Dan dengan itu, mayit bebas tanggungan. Itu semua disebutkan Mushannif dalam Syarh AI Muhadzab.

Kebolehan haji dengan bantuan orang lain untuk orang yang sudah meninggal ini berdasarkan beberapa hadis di antaranya riwayat Imam Muslim dari Buraidah bahwa ada seorang perempuan bertanya: “Ya Rasulallah, sungguh ibuku telah meninggal. Ia belum haji sama sekali, Apakah bisa aku menghajikannya?” Rasul Saw menjawab: “Hajikanlah.”

Imam An Nasai dan lainnya meriwayatkan dengan sanad yang bagus bahwa ada seorang lelaki bertanya pada Nabi Saw tentang haji untuk ayahnya, maka Nabi Saw menjawab: “Menurutmu, andaikan bapakmu punya hutang, lalu kamu melunasinya, Apakah itu rnencukupi baginya?” Ia menjawab: “Ya!” Nabi Saw melanjutkan: “Maka hajikanlah.”

Lantas bagaimana dengan orang yang masih hidup dan tidak mampu mengerjakan haji karena lumpuht, misalnya?

Nah, orang lumpuh yang tidak mampu berhaji sendiri, karena kondisi tua atau lainnya, jika ia memiliki upah untuk orang yang menghajikannya, dengan upah umumnya, maka wajib haji dengan upah itu.

Ketentuannya adalah upah tersebut melebihi dari kebutuhan-kebutuhan yang telah disebutkan bagi orang yang berhaji dengan dirinya sendiri. Namun, tidak disyaratkan nafkah untuk keluarga di masa berangkat dan pulangnya.

Andaikan ada anaknya atau orang lain memberi harta untuk upah, maka tidak wajib menerimana menurut pendapat Ashah. Alasannya karena di dalamnya terdapat potensi diungkit-ungkit.

Sementara dalam pendapat lain disebutkan wajib menerima harta untuk upah haji, karena dengan harta itu akan terwujud Istitha’ah (kemampuan) dalam melaksanakan haji.

Seandainya seorang bapak meminta anakya untuk menghajikan dirinya, maka sunnah bagi anak untuk memenuhinya, sebagaimana yang disebutkan menuhi Mushonnif dalam Syarah Al Muhadzab.

As Syaikhani meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang wanita dari Khats’am bertanya: “Wahai Rasulullah, kewajiban berhaji yang Allah bebankan kepada para hamba-Nya telah menjumpai ayahku dalam keadaan tua renta, tidak mampu untuk mengendarai kendaraan, maka apakah saya boleh untuk melakukan haji untuknya?

Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam menjawab: “Ya.” Peristiwa ini terjadi pada saat Haji Wada’. 

Demikianlah penjelasan terhadap Orang yang ‘Mampu’ dalam mengerjakan Haji. Semoga bermanfaat, Wallahu A’lam Bisshawab.

Sumber:
Ust. H. Nailul Huda & Ust. M. Habibi, Terjemah Al-Mahalli, disunting.