Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian Haji, Hukum, Dalil dan Syaratnya

 Alfailmu.com - Haji merupakan salah satu dari rukun Islam, yaitu rukun Islam kelima. Sebagai seorang muslim untuk menyempurnaikan keislamannya wajib mengerjakan Iabdah Haji ini. Namun, sebagaimana yang kita ketahui bahwa kewajiban mengerjakan haji ini hanya bagi orang yang mampu, bila tidak mampu tentu tidak wajib dikerjakan.

Pengertian Haji, Hukum, Dalil dan Syaratnya

Untuk itu bagi muslim ynag hendak melaksanakan iabdah haji terlebih dahulu harus mengetahui apa itu haji, hukumnya, syarat, rukun dan hal-hal yang berkaitan dengan ibadah haji. Simak penjelasan lebih lengkapnya berikut!

Pengertian Haji

Haji secara bahasa adalah ‘qasdu’ yang berarti menyengaja. Sementara menurut istilah syara’ sebagaimana yang telah disebutkan oleh Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazy dalam Kitab Syarah Fathul Qarib Mujib fi Alfadzi at-Taqrib, haji adalah:

قصد البيت الحرام للنسك

Haji adalah menyengaja menuju Baitul Haram untuk melaksanakan ibadah.

Hukum haji dan dalilnya

Hukum haji adalah wajib, sebagaimana hal yang telah dimaklumi dari agama Islam dengan pasti. Dalil wajibnya haji adalah firman Allah ta'ala: Artinya: “Mengerjakan haji di Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah.” (QS. Ali Imran: 97)

Berdasarkan pokok syara’, haji hanya wajib satu kali dalam seumur hidup. Menjadi wajib menambahinya dengan sebab suatu yang baru, semisal nadzar dan qadha haji.

Sama dengan Haji, Umrah hukumnya juga wajib menurut pendapat Azha. Sungguh Allah Ta’ala berfirman: “Sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah..” (QS. Al Baqarah: 196). Maksudnya ialah perintah menunaikan keduanya dengan bentuk sempurna. 

Ada pendapat Kedua yang menyebutkan bahwa hukum mengerjakan umrah adalah sunnah, berdasarkan hadis riwayat At Tirmidzi dari Jabir bahwa Nabi Saw ditanya tentang umrah, apakah wajib? Beliau menjawab: “Tidak, jika kamu umrah, maka itu lebih baik.”

Dalam hal tersebut, Mushannif (Imam Nawawi) dalam Syarah Al-Muhadzab mengomentarinya: “Para Hafidz sepakat bahwa hadis itu dhaif.”

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa hadis dhaif (lemah) tidak dapat diajdikan sebagai dalil dalam agama.

Dengan demikian, Umrah berdasarkan pendapat Azhar adalah fardhu (wajib), sama dengan haji dalam syarat mutlaknya sah, sahnya mengerjakan, wajibnya, dan mencukupinya untuk umrah Islam. Satu Istitha'ah, cukup untuk keduanya, semua.

Syarat sah Haji 

Syarat sah haji adalah Islam saja, maka tidak sah hajinya orang kafir asli atau murtad. Dalam syarat ini tidak disyaratkan harus mukallaf. Sehingga bagi wali boleh mengihramkan anak kecil yang belum tamyiz dan orang gila. Meskipun ia tidak bisa haji atau ihram untuk dirinya sendiri.

Anak yang sudah tamyiz, bisa melakukan ihram dengan izin dari wali. Menurut satu pendapat kebolehan meskipun tanpa izin wali.

Berdasarkan pendapat pertama, wali boleh mengihramkannya, menurut pendapat Ashah dalam Kitab Ashlu Raudhah.

Dasar sahnya haji anak kecil (juga mencakup anak kecil perempuan) adalah hadis yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw. bertemu dengan serombongan pengendara di Rauha’.

Tiba-tiba seorang wanita terkejut, lalu memegang lengan anak kecil, lantas mengeluarkannya dari tandunya, kemudian ia bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah sah haji untuk anak ini?” Beliau Saw menjawab: “Sah, dan kamu juga mendapatkan pahala.”

Sementara orang gila, Washi (pelaksana wasiat) dan pelaksana dari pihak hakim hukum hajinya diqiyaskan kepada anak kecil.

Dalam Syarah Al Muhadzab dari Ashhab disebutkan bahwa cara mengihramkannya wali untuk anak kecil adalah dengan bemiat menjadikannya sebagai Muhrim (seorang yang mengerjakan ihram).

Sehingga anak kecil tersebut bisa menjadi Muhrim hanya dengan itu. Kehadirannya dan menghadapnya tidak disyaratkan menurut pendapat Ashah. Wali bisa menthawafkannya, menggantikannya salat thawaf dua rakaat, bersa’i dengannya menghadirkannya di Arafah, Muzdalifah.

Juga menghadirkannya di tempat wukuf, memberinya beberapa batu untuk kemudian dilemparkannya jika mampu, jika tidak maka diwakili melempar batu oleh orang yang tidak memiliki tanggungan melempar jumrah. Sedangkan anak yang sudah tamyiz harus thawaf, salat dan sa’i sendiri.

Sementara orang gila sama dengan anak yang belum tamyiz dalam hal-hal tersebut. Berbeda halnya dengan orang yang pingsan tidak boleh digantikan orang lain untuk ihram, karena ia tidak hilang akal, dimana ia bisa sadar dalam waktu dekat.

Meskipun Syarat sah haji hanya dengan beragama Islam saja, tetapi harus dipastikan bahwa pelaksanaan haji hanya sah dari muslim yang telah tamyiz, baik telah baligh atau belum, merdeka atau hamba sahaya .

Oleh karena itu, tidak sah pelaksanaan oleh orang gila dan anak kecil yang tidak tamyiz. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tentang butuhnya anak yang tamyiz terhadap izin walinya.

Maksudnya, yang bisa sah haji sebagai salah satu rukun Islam hanyalah bila yang melaksanakannya adalah ketika seseorang telah mukallaf, yaitu yang baligh dan berakal serta merdeka.

Dengan begitu sah hajinya orang yang tidak kaya (orang fakir), sebagaimana andaikan orang kaya berani menanggung bahaya di jalan sampai ia haji. Tidak dengan hajinya anak kecil dan hamba sahaya  ketika ia mengalami kondisi sempurna setelah-nya.

Nabi Saw. bersabda: “Anak kecil manapun yang berhaji, kemudian ia baligh, maka ia wajib melakukan haji lagi. Dan hamba sahaya manapun yang berhaji kemudian ia dimerdekakan, maka ia wajib haji lagi”. (HR. Al Baihaqi, dengan sanad bagus)

Syarat wajib Haji 

Syarat wajib haji ada empat, bila sudah sudah terpenuhi keempat-empatnya, maka ia sudah diwajibkan untuk mengerjakan ibadah haji. Sebaliknya bila salah satu ada syarat yang belum lengkap, maka ia belum haji. Berikut penjelasan 4 Syarat wajib haji.

1. Islam

Syarat wajib haji yang pertama adalah Orang Islam. Adapun orang kafir, maka tidak wajib baginya dengan kewajiban yang dituntut di dunia, melainkan wajib dengan wajib yang menyebabkan siksa atas dirinya di akhirat, sebagaimana yang telah ditetapkan di ilmu Ushul Fiqih.

Kemudian jika ia masuk Islam dalam kondisi melarat setelah pernah ia mampu saat masih kafir, maka tidak ada pengaruhnya kecuali bagi orang yang murtad.

Sehingga haji tetap ada dalam tanggungannya dengan istitha’ah (mampu) dalam kondisi murtad. Demikian disebutkan Mushannif dalam Syarah Al Muhadzab.

2. Mukallaf

Mukallaf merupakan syarat wajib haji kedua. Mukallaf adalah mereka muslim yang telah diberatkan hukum Islam kepada mereka, dengan tolak ukur telah telah Aqil (berakal) dan Baligh (sampai umur).

3. Merdeka

Selanjutnya syarat wajib haji adalah merdeka. Oleh karena itu, seorang hamba sahaya tidak ada kewajiban dalam melakukan haji. Bila pun ia melakukan haji dalam masa hambanya, ia tetap harus melakukkannya haji lagi sebagai rukun Islam saat ia merdeka.

4. Istitha’ah (mampu)

Terakhir, yang keempat dari Syarat wajib haji adalah mampu. Haji adalah salah satu ibadah badan dan membutuhkan harta. Karenanya kewajiban haji ini hanya bagi mereka yang mampu keduanya. Allah Ta’ala berfirman: “Yakni orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)

Empat hal di atas adalah Syarat wajib haji, bukan syarat sah haji. Artinya orang yang tidak memenuhi kriteria-kriteria di atas, mereka tidak wajib haji, bukan tidak sah haji. Artinya beberapa orang tetap sah mengerjakan haji meskipun dia tidak wajib seperti yang disebutkan pada syarat sah haji.

Selain empat hal syarat wajib haji di atas, juga Wajibnya haji disyaratkan adanya air dan bekal di beberapa lokasi yang biasanya diambil dari sana dengan harga wajar, yaitu harga yang pantas sesuai dengan waktu dan tempat di sana.

Maka bila tidak ada karena kosong dari penduduknya dan terhentinyya air, atau ada dengan harga lebih tinggi dari harga wajarnya, maka tidak wajib haji.

Begitu juga disyaratkan adanya pakan binatang di tiap Marhalah (tahap pejalanan). Hal ini tentu dikhususkan bagi mereka yang berhaji dengan mengendarai kenderaan hewan, bukan pesawat.

Sementara untuk wanita, syarat wajib hajinya, disyaratkan harus ada suami atau mahram atau beberapa wanita adil, yang berangkat menyertainya agar ia merasa aman terhadap dirinya. Bahkan dalam pendapat Ashah disebutkan tidak disyaratkan wujudnya mahram untuk salah satu dari para wanita adil itu.

Sementara pendapat yang lain, disyaratkan ada mahram agar bisa memediatori antara mereka dengan para lelaki dan membantu mereka ketika ada suatu urusan. Dalam hal itu, suami sama dengan mahram. Wallahu a’lam 

Sumber:
Ust. H. Nailul Huda & Ust. M. Habibi, Terjemah Al-Mahalli, disunting.