Kandungan Fiqih Surah Al-Baqarah ayat 158
Ayat ini menunjukkan bahwa sa’i antara Shafa dan Marwah termasuk bagian dari rangkaian amal-amal haji dan umrah. Akan tetapi para ulama kita berbeda pendapat dalam menentukan sifat syar’inya.
Menurut jumhur (Malik, Syafi’i, dan Ahmad), ia adalah rukun. Barangsiapa tidak melakukan sa’i, ia harus menunaikan haji lagi pada tahun depan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan olehAhmad dari Shafiyyah binti Syaibah:
اسعوا، فإن الله كتب عليكم السعي
Artinya: “Laksanakanlah sa’i sebab Allah telah mewajibkan sa’i atas kalian.”
Kata kataba bermakna “mewajibkan”, seperti yang terdapat dalam firman-Nya “كتب عليكم الصيام” yang berarti: telah diwajibkan puasa atas kalian.
Dalil lainnya adalah sabda beliau yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Baihaqi dari Ubadah ibnush Shamit:
خمس صلوات افترضهن الله على العباد
Artinya: “Ada lima shalat yang difardhukan Allah atas hamba-hamba-Nya ..”
Sedangkan mazhab Hanafi berpendapat bahwa sa’i hukumnya wajib. Jika seseorang tidak mengerjakannya sampai ia kembali ke negerinya, ia bisa menebusnya dengan dam, yakni dengan menyembelih seekor kambing yang sah untuk kurban.
Dalilnya adalah makna lahiriah ayat yang meniadakan dosa dari orang yang melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah, dan menyebut hal itu sebagai amal tathawwu’, yakni barangsiapa menambah amal dengan mengerjakan sa’i antara kedua bukit itu.
Dalil lainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh asy-Sya’bi dari Urwah bin Midhras ath-Tha’i, katanya: Aku menghadap Rasulullah Saw di Muzdalifah lalu aku berkata,
“Wahai Rasulullah, saya baru saja tiba dari gunung Thai. Setiap gunung yang saya lalui telah saya lakukan wukuf di sana. Apakah haji saya sah?”
Beliau Saw bersabda:
من صلى معنا هذه الصلاة، ووقف معنا هذا الوقف، وقد أدرك عرفة قبل - ليلا أو نهارا - فقد تم حجه وقضى تفثه
Artinya: “Barangsiapa sempat mengerjakan shalat ini bersama kami dan ikut melakukan wukuf ini bersama kami sementara ia telah datang di Arafah sebelum itu-baik pada malam maupun siang hari, berarti hajinya telah sempurna dan manasiknya telah selesai.”
Kata mazhab Hanafi: Ini menunjukkan bahwa sa’i bukan rukun, karena dua alasan:
Pertama, Nabi Saw memberitahunya bahwa hajinya sempurna padahal di dalamnya tidak ada sa’i. Kedua, seandainya sa’i termasuk rukun haji, tentu beliau menjelaskannya kepada si penanya, sebab beliau tahu bahwa orang itu tidak mengetahui hukumnya.
Namun tampaknya ayat ini tidak bisa menjadi dalil bagi kedua kubu di atas, karena sebab turunnya ayat ini (sebagaimana kita tahu) adalah peniadaan dosa atas orang yang melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah setelah dulunya mereka merasa tidak leluasa (merasa bersalah).
Kalau bersa’i di sana lantaran adanya dua berhala (Isaf dan Na’ilah) di sana pada masa Jahiliyah, di mana pada masa itu orang-orang mengusap berhala itu dan melakukan sa’i deminya.
Maka, Allah menjelaskan bahwa sa’i dilakukan di antara kedua bukit itu karena Allah dan bahwa keduanya termasuk bagian dari syiar-syiar agama-Nya.
Firman Allah “وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرً” bisa bermakna “menambah amal dengan mengerjakan sa’i di antara keduanya”, dan bisa pula bermakna “menambah atas amal fardhu dengan melakukan sa’i di antara keduanya”.
Jadi, dalam masalah ini tidak ada dalil lagi kecuali dari as-Sunnah, yang di dalamnya terdapat berbagai riwayat, sehingga perlu ditarjih salah satunya sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada.
Dan yang rajih menurut saya adalah pendapat jumhur, karena kuatnya hadis-hadis yang mereka jadikan dalil, yang menyatakan secara eksplisit tentang kefardhuan sa’i. Dan firman-Nya “وَمَنْ تَطَوَّعَ” mengisyaratkan bahwa sa’i itu wajib.
Jadi, barangsiapa mengerjakan amal tambahan atas sa’i yang wajib itu, maka sesungguhnya Allah Ta’ala akan mengganjarnya dengan banyak. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)