Waktu Takbir bagi Orang yang sedang Haji dan Tempatnya

Daftar Isi
Waktu Takbir bagi Orang yang sedang Haji dan Tempatnya

Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Baqarah ayat 203:

وَاذْكُرُوا اللّٰهَ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْدُوْدٰتٍ ۗ .....

Artinya: “Dan berzikirlah kepada Allah pada hari yang telah ditentukan jumlahnya. ….” (QS. Al-Baqarah: 203)

Berzikir dengan menyebut Allah pada “hari-hari yang terbilang” adalah berupa takbir sesudah shalat lima waktu dan ketika melontar ketiga jamrah.

Imam Malik berkata: Takbir dimulai sejak waktu zhuhur pada hari Kurban sampai sesudah shubuh padahari Tasyriq yang terakhir.

Dengan demikian, jumlah shalat yang diakhiri dengan takbir adalah lima belas. Menurut sebuah riwayat dari Syafi’i, takbir dimulai sejak shalat maghrib pada malam Kurban.

Menurut riwayat yang lain darinya dan dari Abu Hanifah, takbir dimulai sejak shalat shubuh pada hari Arafah dan dihentikan sesudah shalat ashar pada hari Kurban.

Adapun pendapat mazhab Hanafi, Hambali, dan yang masyhur dalam madzhab Syafi’i adalah takbir dimulai sejak shalat shubuh pada hari Arafah dan dihentikan sesudah shalat ashar pada hari Tasyriq yang terakhir.

Dengan demikian, jumlah shalatnya adalah 23 buah. Dalilnya adalah riwayat fabir dari Nabi Saw bahwa beliau mengerjakan shalat shubuh pada hari Arafah, kemudian beliau menghadap para makmum lalu berucap Allaahu akbar.

Rasulullah Saw terus membaca takbir sampai (sesudah) ashar di hari Tasyriq yang terakhir. Tentang firman Allah Ta’ala “اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ نَصِيْبٌ مِّمَّا كَسَبُوْا” Ibnu Abbas berkata:

Yaitu orang yang menerima upah untuk mewakili orang lain berhaji, maka ia mendapat pahala.”

Dalam riwayat lain darinya, yang disebutkan oleh Daraquthni, tentang ayat ini: Seorang lelaki suatu ketika berkata:

Wahai Rasulullah, ayah saya telah meninggal tapi ia belum menunaikan haji. Bolehkah saya berhaji atas nama-nya?

Nabi saw. balik bertanya, “Seandainya ayahmu punya utang lalu kau melunasinya, bukankah hal itu sah?” Orang itu menjawab, “Ya.” Beliau lantas bersabda, “Utang Allah lebih patut untuk dilunaskan.”

Pendapat Ibnu Abbas mirip dengan pendapat Malik. Artinya, orang yang diwakili berhaji mendapatkan pahala nafkah, sedangkan pahala haji didapatkan oleh si pelaksana haji.

Jadi, bisa dibilang bahwa ia mendapatkan pahala atas kerja fisiknya, sedangkan orang yang diwakili berhaji itu memperoleh pahala atas infak hartanya.

Oleh karena itu, tidak ada bedanya apakah si wakil itu sudah pernah menunaikan haji Islames atau belum.

Tidak ada perbedaan pendapat bahwa orang yang diperintahkan berzikir pada “hari-hari yang terbilang” adalah orang yang sedang berhaji; ia diperintahkan bertakbir ketika melontar jamrah.

Hal itu dilakukan sebagai ungkapan syukur atas rezeki berupa hewan ternak yang diperolehnya pada “hari-hari yang dimak- lumi”, serta ia diperintahkan bertakbir (tanpa talbiah) sesudah shalat lima waktu.

Adapun selain jamaah haji, menurut pendapat jumhur sahabat, tabi’in, dan para fukaha, sama hukumnya dengan jamaah haji: diperintahkan bertakbir.

Jadi, ia hendaknya bertakbir usai setiap shalat, baik ia mengerjakan shalat sendirian maupun berjamaah, dengan bacaan takbir yang nyaring pada hari-hari ini.

Hal ini sebagaimana dicontohkan generasi salaf radhiallaahu ‘anhum, dan tata caranya adalah seperti yang telah kami jelaskan dalam waktu takbir.

Disebutkan dalam kitab al-Mudawwanah karangan Imam Malik fika ia lupa bertakbir sesudah shalat dan waktunya masih belum lama, hendaknya ia duduk lalu bertakbir.

Tapi kalau jedanya panjang ia tidak harus berbuat apa-apa. Kalau ia sudah pergi dan belum bertakbir, hendaknya orang-orang lain yang masih duduk bertakbir.

Lafal takbir menurut riwayat yang masyhur dari Malik adalah tiga takbir; sedangkan dalam sebuah riwayat ada tambahan begini: Laa ilaaha illallaah, wallaahu akbar wa lillaahil-hamdu. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)