Apakah Ayat tentang Berperang di Jalan Allah telah Dinasakh?

Apakah Ayat tentang Berperang di Jalan Allah telah Dinasakh?

Alfailmu.com - Mengenai dengan ayat “وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ”, “Dan bereperanglah di jalan Allah” (QS. Al-Baqarah: 190) telah dinasakh atau tidak? Di sini para ulama berbeda-beda pendapat. Berikut rinciannya !

Sejumlah ulama berkata: Ayat ini menunjukkan bahwa kalian boleh berperang jika kaum kafir memerangi kalian, kemudian ayat ini dinasakh dengan firman Allah Ta’ala:

…Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya...” (QS. at- Taubah: 36)

...Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas darimu...” (QS. At-taubah: 123)

Maka perangilah orang-orang musyrik dimana saj a kamu temui...” (QS. at- Taubah: 5)

Perangilah orang-orang yang ti dak beriman kepada Allah dan hari kemudian...” (QS. at-Taubah: 29)

Ayat-ayat di atas seluruhnya memerintahkan kita memerangi semua orang kafir, dan menunjukkan keumuman pensyariatan peperangan terhadap kaum musyrikin, baik mereka memerangi kaum muslimin maupun tidak. 

Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, dan Mujahid berkata: Ayat ini muhkamah (tidak dinasakh, hukumnya masih berlaku).

Maknanya: Perangilah orang- orang yang bisa memerangi kalian, dan jangan berbuat aniaya dengan membunuh kaum wanita, anak-anah kaum biarawan, dan sejenisnya.

Kata Abu fa’far an-Nahhas: Di antara kedua pendapat di atas, pendapat inilah yang paling benax, menurut dalil dari As- Sunnah dan logika.

Dalil dari As-Sunnah adalah hadis Ibnu Umar yang diriwayatkan para imam, bahwa dalam sebuah peperangan Rasulullah Saw melihat seorang wanita yang terbunuh, dan beliau ti- dakmenyukai kejadian itu, serta beliau melarang membunuh kaum wanita dan anak-anak. 

Sedangkan dalil logika adalah: Kata faa’ala biasanya hanya dipakai me- ngenai pekerjaan yang dilakukan dua orang. Misalnya, kata aI -muqaatolah, aI- musy aatamah, dan al-mukhaashamah. 

Peperangan tidak bisa dilakukan oleh kaum wanita, anak-anah dan sejenis- nya, seperti: para biarawan, orang cacat, orang tua renta, dan buruh, maka dari itu mereka tidak boleh dibunuh.

Hal demikian telah diwasiatkan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kepada yazid bin Abi Su$ran ketika ia mengutusnya ke Syam, sebagaimana diriwayatkan oleh Malik dan lain-lain, kecuali jika orang-orang tersebut membahayakan.

Mengenai kaum wanita, jika mereka ikut berperang dengan menyumbang- kan ide atau ikut menyemangati pasukan dalam pertempuran atau memberi suplai harta, maka mereka boleh dibunuh, pada saat berkecamuknya perang dan setelah usai (menurut pendapat Suhnun) dengan dalil keumuman firman Allah Ta’ala:

“Dan perangilah di ialan Allah orang-orang yang memerangi kamu...” (QS. al-Baqarah: 190)

“Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka...” (QS. al-Baqarah: 191)

Wanita yang tidak bertempur tidak boleh dibunuh, baik pada saat perang berkecamuk maupun setelah penawanan. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw bersabda:

ولا تقتلوا وليدا ولا امرأة ولا شيخا

Artinya: “... Dan jangan membunuh anak kecil, wanita, maupun orang tua.”

Anak-anak juga tidak boleh dibunuh karena di dalam As-Sunnah ada larangan membunuh mereka.

Dalam hadis shahih Nabi Saw pernah melarang membunuh kaum wanita dan anak-anak. Dan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan para penyusun kitab Sunnah kecuali Tirmidzi, dari Rabah bin Rabi’, Rasulullah Saw bersabda:

لا تقتلوا ذرية ولا عسيفا

Artinya: “Jangan membunuh anak-anak maupun pekerja upahan.

Alasan lainnya adalah karena anak-anak masih belum berstatus sebagai mukalaf, belum dibebani hukum-hukum syariat. Namun jika anak kecil ikut bertempur, ia boleh dibunuh. Kaum biarawan juga tidak boleh dibunuh.

Lebih dari itu, harta mereka yang menjadi tumpuan hidup mereka pun harus dibiarkan, tidak boleh disita, apabila mereka memisahkan diri dari penduduk yang kafir.

Dalilnya adalah perkataan Abu Bakar kepada Yazid bin Abi Suffan dalam wasiat- nya yang terkenal yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’:

 “... Dan akan kau jumpai orang-orang yang mengaku telah mewakafkan dirinya untuk Allah. Maka biarkanlah mereka dan jangan ganggu apa yang mereka anggap telah mereka wakafkan untuk-Nya.”

Mengenai orang-orang sakit yang benar adalah perlu dilihat keadaan-nya. Kalau berbahaya, mereka boleh dibunuh. Kalau tidak mereka harus dibiarkan.

Adapun tentang orang-orang tua, jumhur fuqaha berpendapat bahwa jika orang itu tua renta dan tidak sanggup bertempur, serta tidak dapat memberikan sumbangan pikiran atau tenaga, maka ia tidak boleh dibunuh.

Dalil pesan Abu Bakar kepada Yazid juga karena ia termasuk orang yang tidak ikut berperang dan tidak membantu musuh, maka ia tidak boleh dibunuh, sama seperti wanita.

Adapun jika ia tergolong orang yang dikhawatirkan bisa berbahaya (dengan ikut bertempur, memberi sumbangan ide atau harta), maka imam bisa memilih salah satu dari lima hal tentang hukumannya.

Menurut mazhab Maliki, apabila ia tertawan: membunuhnya, membebaskan tanpa tebusan, membebaskan dengan tebusan, memberinya jaminan keamanan (dzimmah) dengan syarat ia harus membayar jizyah, atau menjadikannya budak (yang terakhir ini berlaku pada zaman silam). 

Imam Syafi’i juga membolehkan membunuh musuh yang telah tertawan, kecuali kaum wanita dan anak-anak. Adapun para buruh dan petani tidak dibunuh menurut Imam Malik dengan dalil hadis di atas dari Rabah bin Rabi’:

“Susullah Khalid bin Walid, dan sampaikan kepadanya hendaknya ia tidak membunuh anak kecil maupun buruh.”

Sayyidina Umar ibnul Khaththab pernah berkata, “Bertakwalah kepada Allah dalam memperlakukan anak-anak dan para petani yang tidak ikut serta memerangi kalian.”

Khalifah Umar bin Abdul Aziz dulu juga tidak membunuh pembajak tanah. Sedangkan Imam Syafi’i berkata: Petani, buruh, dan orang lanjut usia boleh dibunuh kecuali jika mereka masuk Islam atau membayar jizyah.

Sedangkan Imam Fakhrur Razi tidak memandang bahwa ayat “وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ” dinasakh dengan ayat “وَاقْتُلُوْهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوْهُمْ” karena penyebutan perkara yang umum setelah perkara yang khusus menunjukkan penambahan hukum atas hukum perkara yang khusus ter- sebut, bukan menasakh (menghapus) nya.

Imam Fakrur Razi berkata: Penjelasannya begini: Allah Ta’ala memerintahkan kita berjihad dalam ayat pertama dengan syarat kaum kafir melakukan pertempuran, sedangkan dalam ayat kedua “وَاقْتُلُوْهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوْهُمْ” Dia menambah taklif, yaitu memerintahkan kita berjihad melawan mereka, baik mereka melakukan pertempuran maupun tidak dan Dia mengecualikan darinya pertempuran di Masjidil Haram dengan firman-Nya:

“dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.”

Adapun tentang riwayat dari Muqatil bahwa ayat “وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ” dinasakh dengan ayat “وَلَا تُقٰتِلُوْهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ” lalu ayat ini pun dinasakh dengan firman-Nya “وَقٰتِلُوْهُمْ حَتّٰى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ”.

Imam al-Fakhrur Razi berkata: Ini lemah, sebab telah dijelaskan sebelumnya bahwaa firman-Nya “وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ” tidak mansukh.

Mengenai perkataannya bahwa ayat ini dinasakh dengan firman-Nya “وَلَا تُقٰتِلُوْهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ”, sebetulnya ini adalah takhshiish, bukan naskh.

Adapun tentang perkataannya bahwa ayat “وَلَا تُقٰتِلُوْهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ” dinasakh dengan firman-Nya “وَقٰتِلُوْهُمْ حَتّٰى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ” adalah keliru juga, sebab tidak boleh memulai peperangan di Tanah Haram, dan hukum ini masih berlaku, tidak dinasakh, dan dengan demikian terbukti bahwa pendapatnya lemah.

Alasan lainnya, tidak mungkin Tuhan Yang Maha Bijaksana menggabungkan ayat-ayat yang berurutan Yang masing-masingnya menasakhkan ayat lainnya. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)