Apakah Khulu’ termasuk Talak atau Fasakh?

Apakah Khulu’ itu Talak atau Fasakh?

Alfailmu.com - Jumhur (mazhab Hanafi, Maliki, dan yang rajih dalam mazhab Syafi’i) berpendapat bahwa Khulu’ adalah talak bukan fasakh, dan talak dengan Khulu’ ini adalah talak baa’in. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229)

Dan bayaran tersebut baru bisa disebut tebusan apabila si istri telah lepas dari kekuasaan suaminya.

Sekiranya talak ini bukan talak baa’in, tentu suami punya hak untuk merujuk istrinya, dan si istri masih berada di bawah genggamannya.

Selain itu, tujuan Khulu’ adalah melenyapkan kesengsaraan istri, maka kalau boleh rujuk tentu kesengsaraan itu akan kembali dialaminya.

Khulu’ digolongkan sebagai talak karena seandainya ia adalah fasakh, tentu tebusannya tidak boleh lebih dari besarnya mahar, sama seperti iqaalah dalam jual-beli, padahal kenyataannya Khulu’ boleh lebih dari mahar; dan kalau ia tidak bisa digolongkan sebagai fasakh, berarti ia termasuk talak. Mereka juga berargumen dengan riwayat Ibnu Abbas tentang istri Tsabit bin Qais bahwa Rasulullah Saw bersabda kepada Tsabit:

اقبل الحديقة وطلقها طلقة واحدة

Artinya: “Terimalah kebun itu dan talaklah istrimu satu kali.”

Menurut pendapat terkuat dalam mazhab Hambali, dalam masalah ini ada pemerincian: Khulu’ adalah talak baa’in iika terjadi dengan lafal Khulu’, mufaadaah (penebusan), dan sejenisnya.

Atau dengan kinayah talak, dan suami meniatkannya sebagai talah karena itu adalah kinayah yang diniatkan sebagai talah maka ia adalah talak.

Namun ia adalah fasakh (yang tidak mengurangi jatah talak suami) jika ia tidak meniatkan talah misalnya terjadi dengan lafal Khulu’, fasakh, atau mufaadaah dan tidak diniatkan talah maka ia adalah fasakh yang tidak mengurangi jatah talak.

Ibnu Abbas, Thawus, Ikrimah, Ishaq, dan Ahmad berpendapat bahwa Khulu’ ada- lah fasakh, bukan talah karena Allah Ta’ala berfirman, “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali”.

Selanjutnya Allah menyebutkan Khulu’, lalu berfirman, “Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya’.”

Seandainya Khulu’ adalah talak berarti lelaki punya jatah talak empat kali. Namun pendapat ini dibantah dengan firman Allah Ta’ala: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali”.

Kemudian Allah menjelaskan bahwa suami tidak boleh mengambil harta sebagai tebusan talak, kecuali dalam kondisi yang disebutkan Allah:

Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah...” (QS. Al-Baqarah: 229)

Baik hal itu terjadi pada waktu talak pertama, kedua, maupun ketiga; selanjutnya Allah Swt menjelaskan talak ketiga dengan firman-Nya, “Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halat lagi baginya”.

Mereka juga berdalil dengan riwayat Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dari Ibnu Abbas, bahwa ketika istri Tsabit bin Qais meminta Khulu’ dari suaminya, Rasulullah Saw menetapkan idahnya satu kali haid.

Seandainya Khulu’ adalah talak tentu idahnya tiga quru’ sebagaimana firman Allah Ta’ala:

Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’...” (QS. al-Baqarah: 228)

Apabila Khulu’ terjadi tanpa bayaran dari istri, ia tergolong talak baa’in menurut sebuah riwayat dari Malik, tapi tergolong Khulu’ dengan bayaran menurut riwayat yang lain darinya serta menurut mazhab Hanafi, Syaf i, dan Hambali.

Alasannya sebab bayaran itu sendiri [sama seperti mahar] harus ditunaikan dalam Khulu’ bagaimana pun keadaannya, bahkan ia adalah rukun menurut mazhab Hambali.

Jika suami menerima Khulu’ istrinya tanpa bayaran, Khulu’ ini sah tapi bayaran harus diberikan, menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i.

Khulu’ maupun talak tidak terjadi kecuali dengan lafal “talak”, maka dari itu Khulu’ termasuk talak raj’iy. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)