Legalitas Rujuk Nikah dalam Islam

Legalitas Rujuk Nikah dalam Islam

Alfailmu.com - “Rujuk” artinya suami mengembalikan istrinya ke dalam ikatan pernikahan selama ia masih dalam masa idah. Laki-laki dinjurkan melakukan rujuk dan ini termasuk salah satu ketentuan dalam talak. Dalilnya adalah ayat:

Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah.” (QS. Al-Baqarah: 228)

Rujuk dibenarkan syariat asalkan suami meniatkannya untuk memperbaiki hubungan dengan istri, bukan untuk membuatnya menderita.

Sementara bila seorang suami bermaksud menyengsarakannya dan memperpanjang masa idah serta menjadikannya seperti mu’allaqah (janda gantung), tindakan ini haram, dan suami tidak berhak merujuk istrinya, dengan dalil firman Allah Ta’ala:

“...Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka. Barang siapa melakukan demikian, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri...” (QS. al-Baqarah: 231)

Namun, seandainya ia berbuat demikian, rujuknya sah, meskipun ia melanggar hukum dan menzalimi diri, karena meski keinginan ini tidak dapat kita ketahui, kita memperlakukannya berdasarkan lahiriah keadaannya.

Kata ahaqqu menunjukkan bahwa hak suami pada masa penantian lebih diutamakan ketimbang hak si istri atas dirinya, sebab ia berhak atas dirinya hanya setelah masa idahnya habis, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

الثيب أحق بنفسها من وليها

Artinya: “Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya.

Hak rujuk tanpa akad maupun saksi terbatas pada istri yang ditalak raj’iy pada saat idah, bukan setelah habisnya idah; dan tidak ada yang mensyaratkan isyhaad (penyaksian) kecuali mazhab Zhahiri, sedangkan para ulama lain memandangnya mustahabb atau manduub.

Jika suami tidak merujuk istrinya sampai masa idahnya habis, si istri lebih berhak atas dirinya sendiri dan ia menjadi wanita asing bagi suami; ia tidak halal bagi mantan suaminya kecuali dengan proses lamaran dan pernikahan lagi dengan wali dan saksi, bukan dengan cara rujuk.

Hal itu menjadi ijmak para ulama. Mereka berbeda pendapat tentang jenis tindakan yang membuat suami terhitung melakukan rujuk pada masa idah.

Menurut mazhab Syafi’i, rujuk pada masa idah terwujud dengan ucapan yang shariih (eksplisit) atau dengan ungkapan kinaayah yang diiringi niat. Misalnya, perkataan lelaki yang merujuk: tazawwajtuka atau nakahtuka (Aku menikahimu). Rujuk tidak terwuiud dengan persetubuhan. 

Sedangkan menurut jumhur, rujuk pada masa idah terwujud dengan perkataan atau dengan perbuatan, termasuk dengan khalwah (berduaan di tempat sepi), misalnya ciuman dengan syahwat dan persetubuhan.

Mazhab Maliki menambahkan: Rujuk dapat terwujud pula dengan niat, yakni ucapan dalam hati, misalnya lelaki berkata dalam hati “Aku merujuknya”. Namun, mazhab Hambali tidak membolehkan rujuk dengan kinaayah.

Para ulama juga berbeda pendapat tentang status wanita yang ditalak raj’iy pada masa penantian, apakah statusnya istri atau bukan?

Nah, menurut mazhab Hanafi [serta mazhab Hambali dalam pendapat yang kuat] statusnya masih sebagai istri.

Jadi, suami tidak diharamkan menggaulinya atau mencumbunya pada masa penantian; hukum-hukum suami-istri masih berlaku, tidak ada yang terhapus.

Sedangkan menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, ia tidak seperti istri. Ia tidak boleh digauli sebelum dirujuk baik dengan persetubuhan atau lainnya, bahkan hanya dengan pandangan yang tanpa syahwat pun tidak boleh sebab ia sudah terpisah ikatannya dari suami, sama seperti wanita yang ditalak baa’in.

Juga karena pernikahan membolehkan dilakukannya hubungan badan sedangkan talak mengharamkannya sebab ia adalah lawan nikah.

Perbedaan pendapat ini bersumber dari perbedaan pemahaman tentang Surat Al-Baqarah ayat 228 ini:

Allah menyebut mereka bu’uulah (suami-suami), dan ini mengindikasikan bahwa wanita-wanita yang ditalak adalah istri, akan tetapi Allah pun berfirman ahaqqu biraddihinna (lebih berhak mengembalikan/merujuk mereka), dan ini berarti mereka bukan istri sebab “mengembalikan sesuatu” hanya terjadi pada sesuatu yang sudah terputus hubungannya.

Kelompok pertama memandang bahwa wanita yang ditalak raj’iy adalah istri, dan faedah talak adalah mengurangi jatah talak suami.

Menurut mereka, meskipun hukum-hukum ikatan pernikahan masih ada, si wanita (selama masih dalam masa idah) akan menjadi bukan istri lagi seiring dengan habisnya idah. Mereka ini menakwilkan firman Allah (اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ) begini:

“Mereka menyusuri sebuah jalan; sekiranya mereka sampai pada pengujungnya, tentu mereka keluar dari ikatan nikah; dan rujuk adalah menarik mereka agar tidak terus menyusuri jalan tersebut”.

Adapun kelompok kedua menakwilkan firman Allah (وَبُعُوْلَتُهُنَّ) sebagai penyebutan keadaan mereka pada masa lampau. Allah menyebut mereka bu’uulah dengan melihat keadaan pada masa silam.

Sedang arti (اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ) adalah mengembalikan mereka ke dalam ikatan pernikahan. Menurut saya (pengarang), pendapat inilah yang benar, sebab jika tidak diartikan demikian, tentu talak tidak berdampak apa-apa dalam pengharaman.

Kedua kelompok di atas sepakat bahwa suami tidak boleh melakukan perjalanan bersama istri yang seperti di atas sebelum ia merujuknya.

Menurut kelompok pertama, si istri boleh berdandan bagi mantan suami tersebut, boleh pula memakai wewangian dan perhiasan.

Sedangkan menurut kelompok kedua, ia tidak boleh melakukannya, dan ia pun tidak boleh berduaan dengannya di tempat sepi, tidak boleh masuk rumahnya tanpa izin, tidak boleh memandangnya kecuali jika ia berpakaian, serta tidak boleh memandang rambutnya.

Namun, ia boleh makan bersamanya apabila ada orang lain bersama mereka. Ia tidak boleh bermalam serumah dengannya, melainkan ia harus pindah ke rumah lain.

Apabila lelaki yang menalak istrinya berkata setelah masa idah habis:

“Aku dulu sudah merujukmu ketika kamu masih dalam masa idah”

Sedangkan si istri memungkiri, para ulama berijmak bahwa yang diterima adalah perkatan si istri disertai sumpahnya, dan suami tidak berhak merujuk istrinya itu. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)