Hukum Wasiat Anak Kecil yang Mumayiz, Orang Boros dan Orang Gila

Hukum Wasiat Anak Kecil yang Mumayiz, Orang Boros dan Orang Gila

Tidak ada perbedaan pendapat tentang sahnya wasiat orang yang balig dan berakal yang tidak dicabut haknya untuk mengurus hartanya. Sedangkan tentang wasiat orang selain itu terdapat perbedaan pendapat.

Imam Malik berkata: Perkara yang menjadi kesepakatan dalam madzhab kami adalah bahwa orang yang lemah akalnya, pemboros, dan orang gila yang kadang-kadang waras terhitung sah wasjatnya apabila mereka mempunyai akal yang dengannya mereka mengetahui apa yang mereka wasiatkan.

Demikian pula anak kecil jika ia mengerti apa yang ia wasiatkan, dan ia tidak mewasiatkan perkara yang mungkar (maksiat), maka wasiatnya sah.

Hal ini karena pernah dilakukan oleh Sayyidina Umar ibnul Khaththab r.a. dulu mengesahkan wasiat seorang bocah dari Ghassan yang baru berumur sepuluh tahun (anak yang mumayiz) yang memberi wasiat untuk beberapa saudara ibunya, lalu ketika perkara itu diadukan kepada Umar, ia mengesahkannya.

Artinya, mazhab Maliki (demikian pula mazhab Hambali) membolehkan wasiat anak yang mumayiz, yaitu bocah yang berusia sepuluh tahun atau hampir sepuluh tahun.

Sedangkan mazhab Hanafi dan Syafi’i berkata: Wasiat anak kecil tidak sah, karena perkataannya sebelum mencapai usia balig tidak diperhitungkan dalam pendermaan harta. 

Mazhab Hanafi mengecualikan wasiatnya dalam hal-hal yang menyangkut urusan perawatan jenazahnya dan pemakamannya, atas dasar istihsaan, dengan syarat ada maslahat dalam wasiat itu, dan itu pun wajib hukumnya.

Para imam empat mazhab sepakat bahwa wasiat orang yang safiih (pemboros) sah, yaitu orang yang tidak pandai mengelola hartanya dan ia membelanjakan hartanya tidak secara bijaksana dan tidak sesuai dengan aturan syariat.

Mereka tidak mengesahkan wasiat orang gila, orang yang kurang waras pikirannya, dan orang pingsan karena perkataan mereka dianggap tidak valid. Mazbab Hanafi membolehkan wasiat orang gila apabila kegilaannya tidak terus-menerus.

Namun, kalau gilanya terus-menerus, yakni ia tidak pernah waras selama sebulan atau lebih, wasiatnya batal. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)