Kandungan Fiqih Surah Al-Baqarah ayat 178-179

Kandungan Fiqih Surah Al-Baqarah ayat 178-179

Alfailmu.com - Syariat Islam memiliki ciri bahwa, berkaitan dengan masalah pembunuhan, ia menggabungkan antara pensyariatan qishash yang berlaku di kalangan Bani Israel dan pensyariatan diat yang berlaku di kalangan kaum Nasrani.

Sehingga dalam Islam orang punya pilihan antara qishash, diat, atau memaafkan tanpa ganti rugi apa pun. Dalam banyak ayat, Islam bahkan menganjurkan untuk memberi maaf, misalnya dalam firman Allah Ta’ala:

“... Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa ...” (QS. al-Baqarah: 237)

Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kauali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. al-Israa: 33)

Demikian pula ayat ini: “.. Tetapi baran siapa yang memperoleh maaf dari saudarnya..” (QS. al-Baqarah: 178) mengingatkan kaum mukminin akan hubungan persaudaraan yang mendorong mereka untuk memaafkan.

Juga menghapus faktor-faktor kemarahan dan kedengkian dari dalam hati mereka sehingga saudara mengasihi sesama saudaranya dan menepis rasa dengkinya sehingga ia rela memaafkan saudaranya.

Tapi kalau wali korban menginginkan qishash, si pembunuh harus menyerah kepada perintah Allah dan tunduk kepada hukum qishash yang disyariatkan-Nya. Ini hukumnya wajib atasnya.

Sebagaimana wajib pula atas si wali korban untuk berhenti pada membunuh si pembunuh saja, tidak boleh ia mengganggu orang selainnya seperti yang dilakukan bangsa Arab dahulu dengan melampaui batas dan membunuh selain si pembunuh. Inilah maksud sabda Rasulullah Saw:

إن من أعتى الناس على الله يوم القيامة ثلاثة رجل قتل غير قاتله ورجل قتل فى الحرام ورجل أخذ بذحول الجاهلية

Artinya: “Sesungguhnya manusia yang paling besar permusuhannya kepada Allah pada hari Kiamat ada tiga: orang yang membunuh selain pembunuhnya, orang yang membunuh di kawasan Tanah Suci, dan orang yang membunuh sebagai balas dendam atas kejadian di masa Jahiliyah.

Ayat ini menunjukkan bahwa dalam qishash harus dipertimbangkan kesetaraan dalam status merdeka atau budak dan jenis kelamin.

Imam Malik berkata: Pendapat paling bagus yang pernah kudengar tentang ayat ini adalah bahwa yang dimaksud ialah jenis manusia; jadi lelaki dan wanita sama statusnya dalam qishash. Para ulama sepakat meninggalkan makna lahiriah dari ungkapan “وَالْاُنْثٰى بِالْاُنْثٰىۗ”.

Demi menghentikan kebiasaan balas dendam, syariat Islam tidak mengizinkan para individu menjalankan sendiri hukuman qishash. Syariat membatasi pelaksanaan qishash dan hukuman hudud di tangan penguasa.

Sebab Allah Swt memerintahkan seluruh kaum mukminin agar melaksanakan qishash, dan karena tidak mungkin seluruh kaum mukminin secara bersama-sama melaksanakan qishash maka mereka menjadikan penguasa sebagai wakil mereka dalam pelaksanaan qishash dan hukuman hudud lainnya, demi mencegah terjadinya kekacauan dan pelampauan hak dan keadilan.

Qishash tidak bersifat harus, tapi yang harus adalah tidak melampaui qishash dan hukuman hudud lainnya ke kezaliman: boleh memaafkan/menggugurkan qishash dan meminta ganti diat atau tanpa ganti diat.

Adapun beberapa Masalah Fiqih terkait dengan Kandungan Surat Al-Baqarah ayat 178-179, yakni sebagai berikut:

1. Apakah Kaum Wanita Punya Hak untuk Memberi Maaf?

 Sejumlah ulama salaf (di antaranya Hasan al-Bashri, Qatadah, az-Zuhri, Ibnu Syubrumah, al-Laits, dan al-Auza’i) berpendapat bahwa wanita tidak berhak memberi maaf.

Para ulama yang lain berbeda pendapat Menurut mereka, kaum wanita berhak memaafkan dari qishash.

2. Apakah “mengikuti dengan cara yang baik” dan “membayar” Wajib Hukumnya atau Mandub?

Ayat “فَاتِّبَاعٌ ۢبِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَاۤءٌ اِلَيْهِ بِاِحْسَانٍ” merupakan imbauan dari Allah Ta’ala agar si penuntut menuntut dengan cara yang baik dan si pembayar membayar dengan cara yang baik pula. 

Bacaan secara rafa’ “فَاتِّبَاعٌ” menunjukkan bahwa hal ini wajib, karena maknanya adalah: “maka ia harus mengikutinya dengan cara yang baik”. 

Kata an-Nahhas: Kalimat “فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ” adalah syarat, dan jawaabnya adalah “فَاتِّبَاعٌ” yang berkedudukan rafa’ sebagai mubtada‘; taqdiirnya adalah “عليه اتباع المعروف” “maka ia harus mengikutinya dengan cara yang baik”.

Sama seperti susunan dalam firman-Nya, “فإمسك بالمعروف”. Adapun menurut bacaan nashb “فاتباعا”, perintah di sini bersifat nadb (anjuran, sunnah).

3. Hukum Orang yang Membunuh Setelah Mengambil Diat

Barangsiapa membunuh setelah mengambil diat, maka hukumnya menurut sejumlah ulama (di antaranya Malik dan Syafi’i) adalah seperti orang yang membunuh pertama kali: kalau mau, wali korban berhak membunuhnya, atau kalau mau, ia boleh memaafkannya, dan adzabnya akan diterimanya di akhirat.

Sedangkan Qatadah, Ikrimah, as-Suddi, dan lain-lain berpendapat bahwa adzabnya adalah ia langsung dibunuh, dan hakim/penguasa tidak boleh memberi si wali pilihan untuk memaafkan. Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah Saw bersabda:

لا أعفى من قتل بعد أخذ الدية

Artinya: “Semoga tidak akan kaya orang yang membunuh setelah mengambil diat.”

Imam Hasan al-Bashri berpendapat bahwa azabnya adalah ia harus mengembalikan diat saja, sedang dosanya tetap ada hingga adzab akhirat.

Adapun Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa Keputusannya terserah kepada penguasa: ia berhak menindak orang itu berdasarkan pertimbangannya sendiri.

4. Pelaksanaan Qishash Berada di Tangan Penguasa

Para imam fatwa sepakat bahwa siapa pun tidak berhak menjalankan qishash terhadap orang lain tanpa campur tangan dari penguasa. Manusia tidak boleh melaksanakan qishash terhadap satu sama lain.

Hak pelaksanaan qishash hanya berada di tangan penguasa atau orang yang diangkat penguasa untuk menangani masalah itu. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)