Makalah: Dorongan Untuk Mencari Rezeki yang Halal
Daftar Isi
Makalah Tentang Hadits Mengenai Dorongan Untuk Mencari Rezeki yang Halal
BAB I PENDAHULUAN
Gambar Ilustrasi: muslimahnews.com |
A. Latar Belakang
Alfailmu.com | Meminta-minta atau mengemis adalah meminta bantuan, derma, sumbangan, baik kepada perorangan atau lembaga. Ada beberapa faktor yang membuat orang meminta-minta, diantaranya, faktor ketidakberdayaan, kefakiran, kemiskinan, faktor musibah, faktor-faktor yang datang belakangan tanpa disangka-sangka sebelumnya, dll.
Kemudian diantara berbagai fenomena akhir-akhir ini yang melanda umat islam adalah perpecahan dan perselisihan, umat Islam terpecah menjadi golongan/kelompok dan masing-masing golongan saling merasa benar sendiri, lalu hanya karena perbedaan sedikit umat islam satu dengan yang lain saling menghujat, saling membenci, bahkan ada yang sampai berbuat anarkis kepada muslim lainnya.
Maka dari berbagai masalah itu pemakalah mencoba membahas beberapa hadis yang berkenaan dengan materi kami yang berjudul “Hadits tentang dorongan untuk mencari rezeki yang halal”.
A. Rumusan Masalah
- Apa pengertian meminta-minta dan bagaimana hukumnya?
- Apa saja hadis tentang meminta-minta?
- Apa saja hadis tentang kehidupan individualistis?
B. Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui pengertian meminta-minta dan hukumnya.
- Untuk mengetahui beberapa hadis tentang meminta-minta.
- Untuk mengetahui beberapa hadis tentang kehidupan individualistis.
BAB II PEMBAHASAN
A. Orang yang Memberikan Lebih Baik Dari Orang Yang Meminta-minta
Meminta-minta atau mengemis adalah meminta bantuan, derma, sumbangan, baik kepada perorangan atau lembaga. Mengemis itu identik dengan penampilan pakaian serba kumal, yang dijadikan sarana untuk mengungkapkan kebutuhan apa adanya.
Hal-hal yang mendorong seseorang untuk mengemis salah satu faktor penyebabnya dikarenakan mudah dan cepatnya hasil yang didapatkan. Cukup dengan mengulurkan tangan kepada anggota masyarakat agar memberikan bantuan atau sumbangan.
Ada banyak faktor yang mendorong seseorang mencari bantuan atau sumbangan. Faktor-faktor tersebut ada yang bersifat permanen, dan ada pula yang bersifat mendadak atau tak terduga. Contohnya adalah sebagai berikut:
- Faktor ketidakberdayaan, kefakiran, dan kemiskinan yang dialami oleh orang-orang yang mengalami kesulitan untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari.
- Faktor kesulitan ekonomi yang tengah dihadapi oleh orang-orang yang mengalami kerugian harta cukup besar. Contohnya seperti para pengusaha yang tertimpa pailit (bangkrut) atau para pedagang yang jatuh bangkrut atau para petani yang gagal panen secara total.
- Faktor musibah yang menimpa suatu keluarga atau masyarakat seperti kebakaran, banjir, gempa, penyakit menular, dan lainnya sehingga mereka terpaksa harus minta-minta.
- Faktor-faktor yang datang belakangan tanpa disangka-sangka sebelumnya. Contohnya seperti orang-orang yang secara mendadak harus menanggung hutang kepada berbagai pihak tanpa sanggup membayarnya, menanggung anak yatim, menanggung kebutuhan panti-panti jompo, dan yang semisalnya.
Adapun beberapa hadis tentang orang yang memberikan lebih baik dari orang yang meminta-minta diantaranya, adalah:
عَنْ عَبْدِ الَّلهِ ابْنِ عُمَرَ رضي
الله عنهما: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ وَهُوَ عَلَى
الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَذْكُرُ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ عَنِ الْمَسْاَلَةِ:
اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَالْيَدُ الْعُلْيَا الْمُنْقِنَةُ
وَالسُّفْلَى السَّائِلَةُ. (رواه مسلم)
Artinya: Dari Abdullah bin Umar r.a, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda dari atas mimbar, beliau menyebutkan masalah zakat dan menahan diri dari meminta-minta, beliau bersabda, “tangan diatas lebih baik daripada tangan yang dibawah, dan yang dimaksud tangan diatas adalah yang memberi, sedangkan yang dibawah adalah yang meminta”. (H.R Muslim) (1)
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ عُمَرَ رضي
الله عنهما أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لاَ تَزَالُ
الْمَسْاَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللهَ وَلَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ
لَحْمٍ. (رواه مسلم)
Artinya: Dari Abdullah bin Umar r.a bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “tidaklah seseorang yang selalu meminta-minta kecuali ia akan bertemu dengan Allah dengan muka yang tak berdaging”. (H.R Muslim) (2)
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَ وَاصِلُ
بْنِ الأَعْلَى قَالَا: حَدَّثَنَا بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ
الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْةَ قَالَ: قَالَ رسول الله صلى
الله عليه وسلم مَنْ سَأَلَ النَّاسَ اَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا
يَسْاَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ اَوْ لِيَسْتَكْثِرْ. (رواه مسلم)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami (Imam Muslim) Abu Kuraib dan Washil bin Abdul A'la keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail dari Umarah bin Al Qa'qa' dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Siapa yang meminta-minta kepada orang banyak untuk menumpuk harta kekayaan, berarti dia hanya meminta bara api. Sama saja halnya, apakah yang dimintanya sedikit atau banyak”. (H.R Muslim) (3)
Dari beberapa hadis diatas dapat kita pahami bahwasanya meminta-minta kepada orang lain itu tidak baik, karena bahwa sesungguhnya orang yang memberikan itu lebih baik daripada orang yang meminta-minta.
Kemudian beberapa akibat yang ditimbulkan dari meminta-minta ialah di hari kiamat kelak ia bertemu dengan Allah dengan muka yang tidak berdaging. Dan siapa saja yang meminta-minta kepada orang-orang dengan tujuan untuk menumpuk kekayaan berarti dia meminta bara api dalam artian secara tidak langsung dia meminta laknat kepada Allah, baik yang dimintanya itu sedikit ataupun banyak.
Rasulullah SAW juga menganjurkan kita untuk kerja dan berusaha serta makan dari hasil keringatnya sendiri, bekerja dan berusaha dalam Islam adalah wajib, maka setiap muslim dituntut bekerja dan berusaha dalam memakmurkan hidup ini.
Selain itu jika mengandung anjuran untuk memelihara kehormatan diri dan menghindarkan diri dari perbuatan meminta-minta, karena Islam sebagai agama yang mulia telah memerintahkan untuk tidak melakukan pekerjaan yang hina.
Dalam menari rezeki harus mengenal ketekunan dan keuletan. Rasulullah memerintah mereka bekerja dengan kemampuan kerja dan memberinya dorongan agar tidak merasa lemah dan mengharapkan belas kasihan orang lain.
Dalam satu hadis Rasulullah SAW bersabda yang artinya: Bercerita kepada kita Yahya bin Bakir bercerita kepada kita Laits dari Uqail dari Ibnu Syihab dari Abi Ubaid Maula Abdurrahman bin 'Auf sesungguhnya telah mendengar dari Abu Hurairah r.a. dia berkata, Rasulullah bersabda:
“Mencari kayu bakar seberkas lalu dipikul di atas punggungnya terus dijual itu lebih baik bagi seseorang dari pada mengemis kepada orang lain yang kadang-kadang diberinya atau tidak”. (H.R Bukhari)
Maka dari itu mengumpulkan kayu bakar kemudian menjualnya itu jauh lebih baik daripada meminta-minta yang kadang diberi dan kadang juga tidak, supaya orang bisa menjaga harga diri dan kehormatannya. Dalam al-Qur’an Surat al-Isra’ ayat 84 Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ
كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ
سَبِيلًا
Artinya: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”. (QS. Al-Israa: 84) (4)
Dari ayat diatas menjelaskan bahwa pertolongan Allah hanya datang kepada mereka yang berusaha dengan komitmen dan kesungguhan. Dalam menyatakan bahwa seseorang harus bekerja sesuai dengan bakat dan kemampuan.
Namun meskipun demikian didalam hadis yang lain Rasulullah membolehkan beberapa golongan orang untuk meminta-minta, seperti dalam satu hadis yang artinya:
“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang:
(1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti,
(2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan
(3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup’, ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”. Juga sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ
الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا
يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ
بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kayakarena memelihara diri dari minta-minta,kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak, dan apa saja harta yang baik yang kamu nafakahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 273)
Maka dari hadits dan ayat itu terpahami bahwasanya boleh meminta-minta bagi orang-orang yang sangat membutuhkan dan mudharat baik yang bersifat untuk pribadi, keluarga, kemaslahatan umat, maupun hutang.
B. Kehidupan Induvidualistis Dikhawatirkan Melanda Umat Islam
Diantara berbagai fenomena akhir-akhir ini yang melanda umat islam adalah perpecahan dan perselisihan, umat Islam terpecah menjadi macam-macam golongan/kelompok dan masing-masing golongan saling merasa benar sendiri tanpa meninjau dari hujjah sebenarnya (Al-Qur’an dan hadits).
Lalu, hanya karena perbedaan sedikit (misalnya permasalahan perbedaan dalam fiqih) umat islam satu dengan yang lain saling menghujat, saling membenci, bahkan ada yang sampai berbuat anarkis kepada muslim lainnya. Ada beberapa hadits yang berkenaan tentang hal tersebut, diantaranya:
عَنِ اَبِى نَجِيْحِ الْاِرْبَاضِ بْنِ
سَارِيَةَ رضي الله عنه قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :
اُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّعَةِ وَاِنْ
تَاَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَاِنّهُ مَنْ يَعْسِ مِنْكُمْ فَسَيَرَى
إِخْتِلَافًا كَثِيْرًا. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
الْمَهْدِيِّنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْاُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ. (رواه أبو داود والتّرمذيّ)
Artinya: Dari Abi Najih Al-Irbadh bin Sariyah r.a berkata, telah berkata Rasulullah SAW, “Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla, mendengar, dan taat, sekalipun diperintahkan akan kamu oleh seorang budak.
Karena sesungguhnya ia merupakan pemimpin kamu, maka selagi akan kamu lihat setelahku perselisihan yang banyak, maka wajib bagi kamu berpegang kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaurrasyidin yang terpetunjuk.
Gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama). Karena sesungguhnya semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat”. (H.R Abu Dawud dan Tirmidzi) (6)
عَنْ أَبِى مُحَمَّدِ جُبَيْرِ بْنِ
مُطْعِمٍ رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَا
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ، قَالَ سُفْيَانُ فِى رِوَايَةٍ: يَعْنِى قَاطِعُ
الرَّحْمِ. (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: Dari Abu Muhammad Jubair bin Muth’im r.a bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “tidak masuk syurga orang yang suka memutuskan”. Pada riwayat yang lain Abu Sufyan berkata, “yakni orang yang memutuskan tali persaudaraan”. (H.R Bukhari dan Muslim) (7)
Berdasarkan dua hadits diatas menjelaskan bahwasanya Nabi Muhammad SAW menyuruh kita untuk selalu bertaqwa kepada Allah, mendengarkan, dan taat sekalipun yang menjadi raja adalah seorang budak, karena ia pemimpin yang sah.
Terkecuali pemimpin yang menyuruh kita untuk berbuat maksiat maka pemimpin yang demikian tidak wajib taat dan patuh. Namun, selama pemimpin itu masih berada di jalur yang benar, maka kita selaku rakyat wajib taat kepadanya, siapapun ia, sekalipun ia adalah seorang budak juga wajib taat dan patuh.
Kemudian Nabi menyambungnya akan ada perselisihan setelahnya, maksudnya masa-masa setelah Rasulullah akan banyak sekali muncul perselisihan, perbedaan, dan perdebatan, dll.
Semua hal tersebut disebabkan karena mereka kehilangan petunjuk dan tempat berpegang yaitu Nabi Muhammad. Maka, rasulullah menyuruh kita untuk berpegang kepada Sunnah beliau dan Sunnah para khulafaurrasyidin yang terpetunjuk.
Maka berpeganglah dengan keduanya dengan seerat-eratnya, Nabi mengumpamakan menggigitnya dengan gigi geraham yang berarti benar-benar harus memegangnya sekalipun dengan gigi geraham. Kemudian Rasulullah juga berwasiat agar menjauhi segala perkara-perkara baru dalam agama, karena yang baru itu adalah bid’ah, dan bid’ah adalah sumber perselisihan dan menyesatkan.
Ketika perselisihan dan perbedaan pendapat mulai muncul, maka kemungkinan terbesar yang akan terjadi adalah terputusnya tali silaturrahmi dan hubungan sosial, baik yang bersifat kekeluargaan maupun bermasyarakat.
Setelah terputusnya tali silaturrahmi maka tidak ada lagi hubungan dengan sesama manusia dan pada akhirnya akan menghancurkan umat islam itu sendiri. Maka jauh-jauh dari itu Rasulullah telah mengecam dan mewanti-wanti dengan sabdanya bahwasanya orang yang memutuskan silaturrahmi tidak akan masuk surga. Dalam Al-Qur’an Allah telah berfirman:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. (Q.S Ali Imran: 103) (8)
Maka dari itu semua apapun yang terjadi dalam kehidupan kita harus tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan Sunnah Para Sahabat agar tidak terjadi berbagai perpecahan dan perselisihan dalam islam.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan beberapa hadis diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa:
- Orang yang memberi itu lebih baik daripada orang yang meminta. Meminta-minta adalah cara memberdayakan anggota-anggota tubuh yang tidak sesuai dengan fungsinya.Anjuran untuk berusaha mencari rezeki meski dengan cara yang paling hina sekalipun, dan menanamkan rasa risih pada diri kita untuk mengemis, memberikan kiat untuk menjaga kemuliaan dan mencegah kita dari kenistaan.
- Perkara-perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan bid’ah merupakan sumber perpecahan dan perselisihan lagi menyesatkan
- Dalam keadaan hidup apapun kita harus berpegang teguh kepada Al-Qur’an, Sunnah Rasul, dan Sunnah Para Sahabat agar tidak terjadi perpecahan dalam umat islam.
B. Saran
Kami menyadari makalah ini terbatas dan banyak kekurangan untuk dijadikan landasan kajian ilmu, maka kepada para pembaca agar melihat referensi lain yang terkait dengan pembahasan makalah ini demi relevansi kajian ilmu yang valid. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca sekalian, terima kasih.
Daftar Referensi:
- Imam An-Nawawi, Terjemah Syarah Shahih Muslim. (Jakarta; Mustaqiim, 2006). Jild. 4, h. 285
- Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006). Jlld.1, h. 4008
- Hadis Shahih Muslim No. 1041 /105.
- Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Jakarta:Sygma, 2009), h. 290.
- Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya . . . , h. 46.
- Yahya Ibn Syarifuddin An-Nawawi, Matan Arba’in An-Nawawiyah. (Medan: Sumber Ilmu Jaya, 1980), h. 23
- Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim . . . , h. 517
- Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya . . . , h. 63.