Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah: 7 Filsuf dari Dunia Islam yang Menginspirasi Barat

Makalah Filsafat Umum tentang Filsuf Islam

A. Latar Belakang

Alfailmu.comFilsafat merupakan bagian dari hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal. Sedangkan filsafat Islam itu sendiri adalah hasil pemikiran filsuf tentang ketuhanan, kenabian, manusia dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis serta dasar-dasar atau pokok-pokok pemikirannya dikemukakan oleh para filsuf Islam. 

Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka yang terbayang dalam pemahaman kita adalah beberapa tokoh yang disebut sebagai filsuf muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat Islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan. 


B. Rumusan Masalah

1. Siapa saja para filsuf Islam?
2. Bagaimana pandangan dan pemikiran mereka terhadap filsafat?
3. Apa-apa saja hasil karya mereka dalam filsafat?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengenal para filsuf Islam. 
2. Untuk mengetahui pandangan dan pemikiran mereka terhadap filsafat.
3. Untuk melihat hasil karya mereka dalam filsafat.

BAB II PEMBAHASAN

A. Al-Kindi

1. Riwayat Hidup Al-Kindi

Abu Yusuf  Ya’kub bin Ishak bin Sabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad Al-Ash bin Qais Al-Kindi dilahirkan pada tahun 185 H (801 M) di Kufah, Irak. Al-Kindi berasal dari suku Arab yang terpandang dan memainkan peran utama dalam dunia pemikiran islam.

Al-Kindi memulai pelajarannya di Kufah, kemudian di Basrah dan di Bagdad. Pada masa itu, ilmu-ilmu kedokteran, geografi, geometri, astronomi, matematika, sastronomi, dan lain-lain banyak diajarkan di berbagai Universitas di kota-kota besar Islam. 

2. Pemikirannya Dalam Filsafat

Menurut sejarah di beberapa buku, seperti; Al-Tarikh Al-Islami, Tarikh Falasifah Al-Islam, Tarikh Al-Fikr Al-Arabi, dan Lainnya menyatakan bahwa Al-Kindi adalah seorang filsuf Islam yang pertama dari bangsa Arab yang berusaha memadukan antara ajaran filsafat Yunani dengan ajaran Islam.

Atas perpaduan antara ajaran filsafat yunani dengan Ajaran Islam, maka ini terbukti bahwa mempelajari filsafat tidaklah memusnahkan keyakinan agama yang dimiliki umat Islam selama umat Islam tersebut sudah kokoh berpegang pada dasar-dasar Islam. Selama eksisnya dalam mempelajari filsafat, Al-Kindi memberikan definisi-definisi singkat dari filsafat itu sendiri.

Menurutnya filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia, pengetahuan dari segala pengetahuan dan kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan, hingga kesemuanya di titik beratkan pada nilai tingkah laku manusia.

Menurutnya lagi filsuf adalah “orang yang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil. Filsuff yang sejati adalah filsuf yang mampu memperoleh kebijaksanaan dan mengamalkan kebijaksanaan itu.[1]

3. Karya-karya Al-Kindi

Pengetahuan Al-Kindi yang sangat luas dan beraneka ragam dapat diukur dengan hasil kerja yang meliputi banyak bidang ilmu, beliau menulis sebanyak 270 buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan sejak berusia 19 tahun, buku-buku sebanyak itu dihasilkan dalam kurun waktu 48 tahun.

Al-Kindi menerjemahkan buku-buku dari bahasa Yunani, Persi, Syiria, dan Mesir ke dalam bahasa Arab. Saat itu, ia diberi honor oleh penguasa dengan emas seberat buku yang diterjemahkannya. Karya-karyanya meliputi filsafat, logika, matematika, kedokteran, astronomi, pisikologi, politik, meteorology, dan lain-lain.

Salah satu judul buku Al-Kindi dalam bidang kedokteran ialah “The Books Of Optics” yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin. Selain dikenal sebagai pakar dalam bidang farmakologi, Al-Kindi juga sangat populer sebagai pakar musik.

Namanya dimasukkan dalam buku “Introduction to History of Science”. Sebuah karyanya diterjemahkan dalam bahasa Prancis dengan judul “De Aspectigus” , yang membahas ilmu geometri dan ilmu anatomi mata. Al-Kindi meninggal di Madinah akibat penyakit lemah jantung saat berusia 65 tahun, pada bulan Ramadhan 252 H (November 866 M).[2]

B. Al-Farabi

1. Riwayat Hidup Al-Farabi

Abu Nashr Muhammad Al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania), Khurasan pada tahun 257 H (870 M). Menurut keterangan, ia berasal dari Turki dan orang tuanya adalah Jendral, dan ia sendiri pernah menjadi hakim.

Dari Farab ia pindah ke Baghdad, pusat ilmu pengetahuan waktu itu, di sana ia belajar pada Abu Bishr Matta bin Yunus, dan tinggal di Baghdad selama 20 tahun, kemudian ia pindah ke Aleppo dan tinggal di Istana Saif ad-Daulah guna memusatkan ilmu pengetahuan dan filsafat. Al-Farabi meninggal di Aleppo pada tahun 950 M dalam usia 80 tahun.[3]

2. Pemikiran Al-Farabi dalam Filsafat

Bagi Al-Farabi, tujuan filsafat dan agama adalah sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakiniy dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedang agama memakai cara iqna’iy (pemuasan perasaan) dan kiasan-kiasan serta gambaran untuk semua orang. 

emahaman ini didasarkan pada pengertian Al-Farabi tentang filsafat sebagai upaya untuk mengetahui semua yang wujud karena ia wujud (al-ilm bil maujudat bima hiya maujudah).[4]

Falsafah al-Farabi merupakan suatu intelektual dalam bentuk kongkrit dari apa yang disebut al-Falsafah at-Taufiqiyah (Falsafah Pemaduan) sebagai ciri yang sangat menonjol dari falsafah Islam. Pemikirannya merupakan pemaduan falsafah Aristoteles, Plato dan New-Platonisme dengan pemikiran Islam yang bercorak aliran Syiah.

Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles, dalam masalah akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato, dan dalam masalah metafisika ia dipengaruhi oleh Plotinus. Namun demikian, usaha al-Farabi lebih luas lagi karena ia bukan saja mempertemukan aneka aliran falsafah yang bermacam-macam, tetapi juga berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu, meskipun berbeda corak-ragamnya.[5]

Konsep Farabi mengenai alam, Tuhan, kenabian, esensi, dan eksistensi tak dapat dipisahkan antara keduanya. Mengenai proses penciptaan alam, ia memahami penciptaan alam melalui proses pemancaran (emanasi) dari Tuhan sejak zaman azali.

3. Karya-karya Al-Farabi

Al-Farabi adalah filsuf yang mempersembahkan metode argumentasi efektual tentang ketuhanan sesuai ayat-ayat suci Al-Qur’an yang menganjurkan perenungan terhadap alam semesta. Pandangannya dalam filsafat, logika, dan teologi sangat banyak. Karya-karyanya telah memperkaya khasanah filsafat dan pemikiran dunia islam, antara lain:
  • Syarh Kitab Al-Burhan
  • Al-Mukhtashar
  • Kalam Fial Juz wa maLla Yatazajja
  • Kitab Fi’al-Aql
  • Kalam fi Makna al-Falsafah
  • Kitab fi’al Maujudat al-Mutaghayyirah
  • Syarh Kitab as-Sama’ wa al-Alam
  • Kitab Fi’al Quwwah al-Mutasahiyah wa ghair al-Muthaniyah
  • Kitab  as-Siyasat al-Madaniyah, dan lain-lain.

C. Ibnu Sina

1. Riwayat Hidup Ibnu Sina 

Al-Rais Al-Husain bin Abdullah bin Ali Al-Hamdani dilahirkan pada tahun 980 M di sebuah desa bernama Afshanah. Ayahnya bernama Abdullah berasal dari desa yang terletak di dekat Bukhara.

Ibnu Sina adalah Filsuf dan ahli kedokteran Muslim paling Populer saat ini. Di dunia Barat, Ibnu Sina dikenal dengan sebutan Avicenna. Sebagai anak-anak ia telah menunjukkan keberanian yang luar biasa, di usia 10 tahun ia telah fasih dalam membaca dan memahami Al-Qur’an serta menguasai sebagian besar bahasa Arab.

Selama enam tahun berikutnya, ia mempersembahkan karyanya sendiri, hukum islam, filsafat ilmu alam, manthiq (logika), dan matematika (geometri). Pada usia 17 tahun, ia memusatkan perhatiannya pada bidang pengobatan dan berhasil.

Pada usia 20 tahun, ia menyusun buku pertamanya, pada saat yang pertama ayahnya meninggal dunia, ia meninggalkan Bukhara ke arah Barat, lalu mengabdikan diri pada Ali bin Maimun, pemimpin Khifa.

Dalam waktu yg relatif singkat, di Jurjan, Ibnu Sina belajar manthiq dan Astronomi, lalu menulis karya pertamanya yg terbesar yaitu al-Qanun fi al-Tibb (Canon and Medicine), kemudian ia pindah ke Ray dekat Tahrah dan mendirikan praktek pengobatan.  Di akhir hayatnya, ia menjadi guru filsafat dan dokter di Isfahan dan meninggal pada tahun 428 H ( 1037 M) di Hamadzan dalam usia 57 tahun.[6]

2. Karya-karya Ibnu Sina

Ibnu Sina telah banyak mempersembahkan  karya-karanya di bidang filsafat, obat-obatan, teologi, geometri,astronomi, dan lain-lain. Diantara karya filsafatnya ialah:
  • Asy-Syifa
  • An- Najah
  • Al-Isyarat
  • Rasa’il Fral Hikmah waath Thabi’iyat
  • Al-Hashil wa Al-Mahshul
  • Al Hikmah al-Arsyiah
  • Al-Hikmah al-Masyriqiah
  • Risalah ath-Thayr
  • At-Ta’liqat
  • Kitab fi an-Nihayah wa al-Lanihayah, dan lain-lain.
Karyanya berjumlah 450 buku, namun akibat serangan Mongol, hampir seluruh karyanya lenyap.[7]

D. Imam Al-Ghazali

1. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali

Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi merupakan nama lengkap dari Al-Ghazali sebagai panggilannya atau Abu Hamid Al-Ghazali. Beliau adalah seorang Persia asli yang dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Thus (sekarang dekat Mashed), sebuah kota kecil di Khurasan (sekarang Iran). Ia lahir tahun ketiga setelah kaum Saljuk mengambil kekuasaan di Baghdad.

Imam Al-Ghazali mula-mula belajar ilmu fiqh dari Abu Hamid Ahmad ibnu Muhammad Ath-Thusi Ar-Radzkani, lalu berangkat ke daerah Jurjandan berguru pada Abi Al-Qasim Ismail. Kemudian, ia melakukan perjalanan ke Naisabur dan tinggal di Madrasah Nizhamiyah pimpinan Al-Haramain Al-Juwaini.

Pada waktu itu, Naisabur dan Khurasan merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang terkenal di dunia islam. Kemudian, ia menjadi murid Imam Al-Haramain Al-Juwaini. Diantara pelajaran yang diberikan di sekolah ini adalah teologi, fiqh dan ushulnya, filsafat, logika, dan sufisme.

Al-Ghazali meninggalkan kedudukan yang terhormat  di Baghdad tahun 1095 menuju Mekkah karena tertimpa keragu-raguan tentang guna pekerjaannya. Selanjutnya, dalam beberapa waktu menetap di Damaskus. Di puncak Masjid Jami’ Damaskus, Al-Ghazali memperoleh puncak kesempurnaan tasawufnya, dan disini pula, beliau melahirkan beberapa karya ilmiah, terutama karya yang sangat monumental, yaitu kitab Ihya’ ‘Ulum Ad-Din.

Setelah itu, beliau kembali ke Naisabur dan mengajar di Madarasah pada tahun 1106. Ini berlangsung hanya dua tahun. Kemudian, beliau pulang ke Thus, mendirikan sebuah Madrasah khusus untuk para fuqaha dan mutasawwifin. Di kota ini pula, Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada tahun 505 H/1111 M dalam usia 54 tahun.[8]

2. Situasi Politik dan Pemikiran Pada Masa Al-Ghazali

Sejarah mencatat bahwa pemikiran islam pada masa Al-Ghazali banyak diwarnai dengan berbagai pertentangan aliran pemikiran. Misalnya, mencari kebenaran melalui argumentasi ilmiah banyak dilakukan para intelektual dengan mengadakan dialog, seminar, diskusi hingga berujung pada perdebatan dan mengarah pada upaya mempertahankan doktrin aliran masing-masing.

Bahasan diskusi pada umumnya lebih didomonasi dengan pemikiran kalam. Adapun latar belakang Imam Al-Ghazali bergelut dalam pemikiran kalam, adalah mempertahankan akidah Ahlus Sunnah dari Ahlul Bid’ah. Ketika Al-Ghazali mendalami ilmu kalam, ia banyak melihat bahaya yang ditimbulkan daripada manfaat. Oleh karena itu, Al-Ghazali meninggalkan ilmu kalam dan pindah mengejar ilmu filsafat.

Pada bidang filsafat pun, Al-Ghazali banyak menentang kecenderungan para filsuf pada masanya sehingga ia menentang keras terhadap mereka karena para filsuf pada masa itu sangat membahayakan akidah. Untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran filsafat yang disertai kritik yang sangat pedas dikarangnya sebuah buku Tahafatul Al-Falasifah.

Adapun alasan yang mendorong lahirnya karya ilmiah tersebut adalah dampak munculnya kelompok-kelompok pemikir yang cenderung meninggalkan keyakinan syariat islam dan mengabaikan dasar-dasar ritual dengan anggapan bahwa semua tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka. Sehingga akhirnya Imam Al-Ghazali memutuskan meninggalkan filsafat dan kembali ke tasawuf.[9]

3. Karya-karya Imam Al-Ghazali

Nama Al-Ghazali semakin masyhur di kawasan kerajaan Bani Saljuk ketika ia diangkat sebagai guru besar oleh Nizham Al-Muluk di Universitas Nizhamiyah Baghdad pada tahun 483 H/1090 M, dalam usia relatif muda, yaitu tiga puluh tahun.

Sulaiman Dunya menyatakan dan mencatat karya tulis Imam Al-Ghazali mencapai kurang lebih 300 buah. Beliau menghasilkan karya buku besar dan kecil dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, yang diantaranya sebagai berikut :
a. Ilmu Kalam dan Filsafat
  • Maqashid Al-Falasifah
  • Tahafut Al-Falasifah
  • Al-Musthaziri
  • Hujjat Al-Haq
  • Al-Inthisar 
  • Isbat An-Nadhar
  • Mi’yar Al-‘Ilm, dll
b. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh
  • Al-Basith
  • Al-wasith
  • Al-wajiz
  • Al-Mustashfa, dll
c. Ilmu Tafsir
  • Yaqul At-Ta’wil fi Tafsir at-tanzil
  • Zawahir Al-qur’an
d. Tasawuf dan Akhlak
  • Ihya’ ‘Ulum Ad-Din
  • Mizan Al-Amanah
  • Kimya As-Sa’adah
  • Al-Ma’khadz
  • Al-‘Amali
  • Al-Ma’arij Al-Quds, dll
Berbagai karya Imam Al-Ghazali yang multidisipliner tersebut, membuktikan pada kita bahwa Imam Al-Ghazali merupakan pemikir kelas dunia yang amat berpengaruh, baik bagi kalangan para tokoh ulama klasik maupun para intelektual modern dewasa ini.[10]

E. Ibnu Rusyd

1. Riwayat Hidup dan Karyanya

Ia adalah Abul Walid Muhammad bin Ahmad ibn Rusyd, kelahiran Cardova pada tahun 520 H. Ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai  kedudukan tinggi dim Andalusia (Spanyol).

Ayahnya adalah seorang hakim, dan neneknya yang terkenal dengan sebutan “Ibnu Rusyd Nenek” (al-Jadd) adalah kepala hakim di Cordova.[11] Ia adalah filsuf terkenal. Penguasaannya yang baik dibidang fiqh, ilmu kalam, dan sastra arab yang kemudian menekuni matematika, fisika astronomi, kedokteran dan logika, menjadikannya sebagai ulama atau filsuf yang sulit ditandingi.[12]

Ibnu Rusyd adalah ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu sukar dicari bandingannya, karena menurut riwayat, sejak kecil sampai tuanya, ia tidak pernah pernah terputus membaca dan menelaah kitab, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan dalam perkawinan dirinya.

Karangannya meliputi berbagai ilmu, seperti fiqh, usul, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak, dan filsafat. Buku-bukunya yang lebih penting dan yang sampai kepada kita ada empat, yaitu :
  • Bidayatul Mujtahid, ilmu fiqh
  • Faslul-Maqali ma baina Al-Hikmah was Syari’at min Al-Ittisal, ilmu kalam
  • Manahij Al-Adillah fi Aqaidi Ahl Al-Millah, ilmu kalam
  • Tahafur At-Tahafut, ilmu kalam dan filsafat

2. Ibnu Rusyd dan Aristoteles

Ibnu Rusyd terkenal sebagai “Pengulas Aristoteles”, suatu gelar yang diberikan oleh Dante (1265-1321). Gelar ini memang tepat untuknya, karena pikiran-pikiran mencerminkan usahanya yang keras untuk mengembalikan pikiran-pikiran Aristoteles pada kemurnian semula. 

Pada diri Ibnu Rusyd, dunia islam mencapai titik tertinggi dalam memahami filsafat Aristoteles, untuk kemudian menurun dan lenyap setelah itu.

Ibnu Rusyd memandang Aristoteles sebagai manusia sempurna dan ahli pikir terbesar yang telah mencapai kebenaran yang tak mungkin tercampur kesalahan. Selama hidupnya Ibnu Rusyd berkeyakinan bahwa filsafat Aristoteles, apabila dipahami sebaik-baiknya tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia.

Bahkan perkembangan kemanusiaan telah mencapai tingkat yang tertinggi pada diri Aristoteles sehingga  tidak ada orang yang melebihinya.[13] Maka tidak salah jika banyak para ahli filsafat yang menyebutkan Ibnu Rusyd adalah filsuf aliran Aristoteles murni.[14]

Bagaimanapun, Ibnu Rusyd bukan sekedar pengulas, melainkan ia juga seorang filosof yang mempunyai kepribadian tersendiri dan kebebasan berfikir, sesuai cirri akal manusia pada umumnya. Ketika mula-mula memasuki lapangan filsafat, ia tidak bermaksud untuk membentuk suatu aliran filsafat sendiri.

Karena ia begitu kagum dan menganggap Aristoteles sebagai manusia sempurna. Akan tetapi kenyataan yang terjadi kebalikan dari itu, karena filsafat datang kepadanya melalui filsuf Iskandariyah dan banyak pikiran Aristoteles yang masih belum jelas dan berbelit-belit.

Dua sebab inilah yang menyebabkan Ibnu Rusyd mempunyai aliran filsafat sendiri, meskipun tidak sengaja menjadikannya sebagai mazhab dalam filsafat.

Sepeninggalnya Ibnu Rusyd, filsafatnya tidak mendapat penghargaan yang wajar dari dunia islam sendiri. Anehnya, dukungan Yahudi dan latin itulah yang memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap Ibnu Rusyd dan melanjutkan pikiran-pikirannya.

Sehingga pada abad kelima belas, hanya buku-buku filsafat karangan Ibnu Rusyd yang menguasai dunia Barat, sehingga nama filsuf-filsuf lain hampir dilupakan orang.[15]

F. Ibnu Thufail

1. Riwayat Hidup Ibnu Thufail

Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia dilahirkan di Guadix, provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. Dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.[16]

Selain terkenal sebagai filosof muslim yang gemar menuangkan pemikirannya dalam kisah-kisah ajaib dan penuh dengan kebenaran, ia juga seorang dokter, ahli matematika dan kesastraan.

Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Lewat ketenarannya sebagai dokter, ia diangkat menjadi sekretaris Gubernur di provinsi tersebut. Pada tahun 1154 M (549 H) Ibnu Thufail menjadi sekretaris pribadi Gubernur Cueta dan Tangier Abu Yaqub Yusuf al-Mansur, Khalifah kedua dari Dinasti Muwahhidun (558 H / 1163 M – 580 H / 1184 M) selanjutnya menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.

Kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H /1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh Ibnu Rusyd atas permintaan dari Ibnu Thufail.

Namun, dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.[17]

2. Pemikiran-Pemikiran Ibnu Thufail

Beberapa pemikiran/pendapat Ibnu Thufail, yaitu:

a) Ada dua jalan untuk mengenal Tuhan
Yaitu dengan jalan akal atau dengan jalan syariat. Kedua jalan tidaklah bertentangan, karena akhir daripada filsafat adalah mengenai Allah (ma'rifatullah).

Di dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu Thufail menggambarkan kepada manusia bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian dari fitrah manusia yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya tentu akan sampai kepada Tuhan.[18]

b) Sifat Allah itu pada dua kelompok:
Pertama, Sifat-sifat yang menetapkan wujud Zat Allah, ilmu, kudrat dan hikmah. Sifat-sifat ini adalah Zat-Nya sendiri. Hal ini untuk meniadakan ta’addud al qudama (berbilangnya yang qadim) sebagaimana paham mu’tazilah. Kedua, Sifat salab, yakni sifat-sifat yang menafikan paham kebendaan dari Zat Allah.

Dengan demikian, Allah suci dari kaitan dengan kebendaan.[19] Filsafat dan agama tidak bertentangan dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan Wahyu. Allah tidak hanya dapat diketahui dengan Wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal. 

c) Qadimnya dunia (bumi dan alam semesta alam)
Hal ini bertolak belakang dengan pendapat Al-Ghazali.

3. Karya-karya Ibnu Thufail

Pemikiran-pemikiran filsafat Ibnu Thufail dituangkan dalam risalah-risalah (surat-surat) yang dikirimkan kepada muridnya, Ibnu Rusyd. Sehingga kita tidak dikenal orang banyak. Namun karyanya yang terpopuler dan dapat ditemukan sampai sekarang ialah risalah Hayy ibn Yaqzhan (Si Hidup anak Si Sadar), yang judul lengkapnya Risalah Hayy ibn Yaqzhan fi Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah.

G. Ibnu Bajah

1. Riwayat Hidup Ibnu Bajah

Ibnu Bajjah, nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin Al-Shayigh. Beliau adalah seorang ahli filsafat dan dokter Muslim Andalusia yang dikenal di Barat dengan nama latinnya Avempace.

Ibnu Bajah lahir di Saragossa yang sekarang dikenal dengan Spanyol pada tahun 1082 M dan meninggal di Fez yaitu satu daerah di kawasan Maghribi pada tahun 1138 M.

Pemikirannya memiliki pengaruh yang jelas pada Ibnu Rusyd dan Albertus Magnus. Kebanyakan buku dan tulisannya tidak lengkap atau kurang teratur dengan baik karena beliau meninggal dalam usia yang relatif muda.

Beliau memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang kedokteran, Matematika, Fisika dan Astronomi. Sumbangan utamanya dalam falsafah Islam ialah gagasannya pada Fenomenologi Jiwa, namun sayang kajiannya tidak lengkap.

Ibnu Bajjah juga merupakan seorang penyair bagi golongan al-Murabitun yang terkenal, pemain gambus yang handal dan juga seorang penghafal Al-Qur'an. Kehebatan dalam bidang kepemimpinan juga mulai tersebar ketika Ibn Bajjah dilantik sebagai seorang Menteri pada era pemerintahan Abu Bakar Ibrahim yang berkuasa di Saragossa.

2. Sumbangan Dalam Bidang Filsafat

Sumbangan Ibnu Bajjah dalam bidang filsafat bisa dikatakan setaraf dengan Al-Farabi dan Aristoteles. Ini karena dalam bidang ini beliau telah mengemukakan suatu gagasan filsafat ketuhanan yang membawa maksud bahwa manusia bisa terhubung dengan akal melalui perantaraan ilmu pengetahuan dan pembangunan potensi manusia.

Ibnu Bajjah berpendapat, bahwa manusia bisa mendekatkan diri kepada Tuhan melalui berfikir dan tidak semestinya mengatakan mendekatkan diri kepada Tuhan hanya dengan tasawuf semata-mata seperti yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali. Dengan ilmu dan berfikir, segala keutamaan dan perbuatan moral dapat diarahkan untuk memimpin dan menguasai jiwa.

Terdapat satu persamaan yang agak menonjol antara Al-Farabi dan Ibnu Bajjah yaitu dalam aspek meletakkan ilmu sebagai sumber mengatasi segala-galanya. Mereka sependapat bahwa akal dan wahyu merupakan hakikat yang tidak dapat dipisahkan.

Ibnu Bajjah berpendapat dengan adanya akal dan wahyu, seseorang itu mampu mengenali apa saja kewujudan baik tentang benda maupun tentang Tuhan. Ibn Bajjah turut mempelopori sebuah buku yang berjudul Al-Nafsy, yang membicarakan tentang ilmu jiwa.

3. Ilmu Logika Ibnu Bajjah

Ibnu Bajjah juga telah dikurniakan Allah dengan kemampuan dalam ilmu logika yang sangat hebat. Ketika beliau membicarakan mengenai ilmu logika akal, beliau berpendapat bahwa sesuatu hal yang dianggap benar ataupun tidak bergantung kepada sifat keyakinan ataupun ukurannya.

Beliau justru menyifatkan, keyakinan ataupun secara tepat sesuatu hal yang diyakini itu adalah sebenarnya suatu kebenaran dan sesuatu kemungkinan itu bisa menjadi benar ataupun tidak benar. Ini bermakna keyakinan adalah pokok kepada kebenaran, bisa dikatakan tidak semestinya benar karena bisa saja menjadi salah. Salah dan betul adalah satu kemungkinan.[20]

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Filsafat merupakan bagian dari hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal. Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka yang terbayang dalam pemahaman kita adalah beberapa tokoh yang disebut sebagai filsuf muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Ibnu Thufail, dan Ibnu Bajjah.

Semua para filsuf Islam itu mempunyai pandangan-pandangan serta pemikiran-pemikiran dalam filsafat Islam. Dintaranya ada yang sepemahaman, namun tak sedikit pula yang tidak sependapat. Hal ini disebabkan karena berbeda yang menelatarbelakangi filsafat mereka.

Masing-masing mereka mempunyai karya-karya yang luar biasa. Baik yang masih bisa ditemukan sekarang maupun yang sudah hilang beserta penciptanya. Tetapi, yang jelas mereka telah membuktikan kelihaiannya dalam berfilsafat yang bisa kita temukan dari hasil-hasil karya mereka yang monumental.

Mereka juga telah membuktikan kehebatan Islam dengan para filsuf-filsufnya yang tak kalah hebatnya dengan para filsuf Barat. Bahkan diantara filsafat-filsafat mereka ada yang diadopsi dan dipelajari oleh orang-orang di luar Islam, hebat bukan?

B. Saran

Kami menyadari makalah ini terbatas dan banyak kekurangan untuk dijadikan landasan kajian ilmu, maka kepada para pembaca agar melihat referensi lain yang terkait dengan pembahasan makalah ini demi relevansi kajian ilmu yang akurat. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca sekalian, terima kasih.

Daftar Referensi:

  1. A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h.104
  2. Muhsin Labib, Para Filosof, (Jakarta: Al-Huda, 2005),  h. 78
  3. Muhsin Labib, Para Filosof . . . ,  h. 92
  4. Mukhtar Yahya, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan-Bintang, 1991)
  5. Daudi Ahmad, Kuyliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan-Bintang, 1986), h.25
  6. Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 68
  7. Muhsin Labib, Para Flosof . . . , h. 120
  8. Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung: CV Pustaka Setia. 2008), h. 463-464
  9. Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum . . . , h. 467
  10. Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum . . . , h. 471
  11. Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum . . . , h. 503
  12. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid. (Jakarta: Pustaka Amani. 2007), Jild. 3, h. 726
  13. Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum . . . , h. 505
  14. Zainun Kamal, Ibn Taimiyah versus Para Filosof. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006), h. 71
  15. Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum . . . , h. 507
  16. Sirajuddin, Filsafat Islam,  (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007),  h. 205
  17. Mustofa, Filsafat Islam, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 272
  18. Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 81
  19. Sirajuddin, Filsafat Islam . . . , h. 216
  20. http://ms.wikipedia.org/wiki/Ibn_Bajjah