Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah tentang Sejarah Perkembangan Hadits

Makalah Ulumul Hadits tentang Sejarah Perkembangan Hadits

BAB I PENDAHULUAN

Makalah tentang Sejarah Perkembangan Hadits
Foto: vinarifqiati.wordpress.com

Alfailmu.com - Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya. Selawat dan salam mudah-mudahan selalu di limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari lembah kejahilan kepada alam yang penuh berilmu pengetahuan. Rasulullah juga yang telah menerangkan kitabullah yang bersih dari kebatilan dan kepalsuan kepada umat. Rasul pula yang telah mengajarkan kitab itu beserta hikmah agar umat manusia memperoleh kebahagiaan dunia akhirat, sebagaimana firman Allah Ta’ala: 

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْ,وَاتَّقُواْاللهَ, إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ.
Artinya: “Hal-hal yang diberikan Rasul padamu maka ambillah hal itu, dan hal-hal yang  dilarang oleh Rasul kepadamu maka tinggalkanlah hal itu, dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah keras siksa-Nya”. (Q.S. Al Haysr: 7).

Maka tidak diragukan lagi bahwa kitab-kitab adalah “gudang pengaman” terhadap Sunnah Nabi yang merupakan sumber pokok kedua bagi hukum islam, disamping sebagai rujukan penting terhadap masalah-masalah islam, seperti ‘aqidah, syari’ah, dan kebudayaan. Dari sini jelaslah betapa pentingnya mempelajari hadist Nabi dan sejarah perkembangannya, karena faedahnya tidak hanya terbatas pada satu cabang ilmu saja, tetapi mencakup seluruh aspek kebudayaan islam.

BAB II PEMBAHASAN

A. Fase Pengumpulan dan Penulisan Hadist
Sejarah dan fase pengumpulan hadist mengalami masa yang lebih panjang dibandingkan yang dialami oleh Al-Qur’an, yang hanya memerlukan waktu yang relatif pendek, yaitu sekitar 15 tahun saja. Sedangkan penghimpunan dan pengkodefikasian  hadist memerlukan waktu sekitar 3 abad.

Para Ulama dan ahli hadist, secara bervariasi membagi fase-fase penghimpunan hadits tersebut berdasarkan perbedaan pengelompokan data sejarah yang mereka miliki dan tujuan yang hendak mereka capai. Muhammad Musthafa Azmi, membagi periodisasi penghimpunan hadist empat fase, yaitu:[1]

1. Fase Pengumpulan dan Penulisan Hadits Oleh Para Sahabat
Pada fase ini tercatat sebanyak 50 orang sahabat yang menuliskan hadits yang mereka terima dari Rasulullah, diantaranya adalah Abu Bakar As-Shiddiq, khalifah pertama (w. 13 H), Abu Ayyub Al-Anshari (w. 52 H), Abu Sa’id Al-Khudri (w. 74 H), Abdullah ibn ‘Abbas (w.68 H), Abdullah ibn ‘Umar ibn Al-Mukhatab (w. 74 H), dan lain-lain.

2. Fase Pengumpulan dan Penulisan Hadits Oleh Para Tabi’in di Abad Pertama Hijriyah
Pada fase ini tercatat sebanyak 49 Tabi’in yang menuliskan hadits Nabi Saw, diantaranya adalah Abran ibn ‘Utsman (w. 105 H), Abdurrahman ibn Mas’ud (w. 79 H), Umar ibn Abdul ‘Aziz (w. 101 H), Urwah ibn Al-Zubair (w.93 H), dan lain-lain.

3. Fase Pengumpulan dan Penulisan Hadits Pada Akhir Abad Pertama Hijriyah dan Awal Abad Kedua Hijriyah
Pada fase ini tercatat sebanyak 87 Tabi’in dan Tabi’ al Tabi’in yang menuliskan hadits Nabi Saw, diantaranya adalah Abdul ‘Aziz ibn Sa’id (w.110 H), Ali ibn Abdullah ibn ‘Abbas (w. 117 H), Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H), dan lain-lain.

4. Fase Pengumpulan dan Penulisan Hadits Pada Abad Kedua Hijriyah
Pada fase ini tercatat sebanyak 251 Ulama yang menuliskan hadits Nabi Saw, diantaranya adalah Aban ibn Abu ‘Ayyasy (w. 138 H), Nu’man ibn Tsabit, Al-Imam Abu Hanifah (w. 150 H), dan lain-lain.[2]

B. Hadits Pada Abad I Dan II Hijriyah
1. Masa Rasul Saw
Periode ini disebut Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam).[3] Pada masa Rasulullah Saw, hadist-hadist dihimpun oleh sahabat dekat Rasul, seperti khulafaurrasyidin dan dari kalangan sahabat dekat lainnya. Selanjutnya apa yang diterima oleh sahabat disampaikan kepada sahabat lain yang tidak hadir ketika itu, dan selanjutnya disampaikan kepada generasi-generasi selanjutnya.[4] Dan pada masa itu, shahifah (lembaran) yang berisi catatan hadist rasul itu dari dari pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit kayu, dan tulang-tulang hewan.[5]

Adapun cara para sahabat menerima Hadist pada masa Rasulullah yaitu dengan 4 cara:

  1. Mendatangi majelis ta’lim yang diadakan Rasulullah Saw. Rasulullah selalu menyediakan waktu waktu khusus untuk mengajarkan agama Islam kepada para sahabat. Para sahabat selalu berusaha untuk menghadiri majelis ta’lim tersebut meskipun mereka juga sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Apabila mereka berhalangan , maka mereka bergantian menghadiri majelis tersebut, sebagaimana yang dilakukan Umar dan tetangganya. Yang hadir memberi tahu informasi yang mereka dapatkan kepada yang tidak hadir.
  2. Terkadang Rasulullah Saw sendiri menghadapi beberapa peristiwa tertentu,kemudian beliau menjelaskan hukumnya kepada sahabat. Apabila para sahabat yang hadir menyaksikan peristiwa itu jumlahnya banyak, maka berita tentang peristiwa itu akan segera tersebar luas. Namun apabila yang hadir hanya sedikit, maka rasulullah memerintahkan mereka untuk memberitahukannya kepada sahabat lain yang tidak hadir.
  3. Terkadang terjadi sejumlah peristiwa pada diri sahabat , kemudian mereka menanyakan hukumnya kepada Rasulullah dan Rasulullah memberikan fatwa atau penjelasan hukum tentang peristiwa tersebut. Seperti yang dialami Ali.r.a menyangkut masalah mazi, Dari Ali r.a, dia berkata , “Aku adalah orang yang sering keluar mazi, maka aku suruh Al-Miqdad menanyakan masalah tersebut kepada Rasulullah, maka Rasul menjawab, bahwa padanya harus berwudhu. (H.R. Bukhari )  
  4. Para sahabat terkadang menyaksikan Rasulullah melakukan suatu perbuatan yang berkaiatan dengan tata cara pelaksanaan ibadah seperti shalat, zakat, puasa haji dsb. Sahabat yang menyaksikan perbuatan tersebut kemudian menyampaikan kepada yang lainnya atau generasi sesudahnya.[6]
Pada masa Rasulullah keadaan hadist berbeda dengan Al-Qur'an yang belum ditulis secara resmi.Terdapat beberapa keterangan dan argumentasi yang kadang kadang satu dengan yang lainnya saling bertentangan diantaranya adalah:  

a) Larangan menulis Hadits
Terdapat sejumlah hadis Nabi Saw yang melarang para sahabat menuliskan hadist. Diantara hadits tersebut adalah hadits yang berasal dari Said Al-Khudri :


لا تكتبو ا عني غير القرأن ومن كتب عني غير القرأن فليمحه- رواه مسلم
Artinya: "Nabi muhammad Saw bersabda: Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al-Qur'an. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur'an, hendaklah dihapuskan." (HR. Muslim) 

b) Perintah (kebolehan) menuliskan Hadits
Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw yang memerintahkan atau membolehkan menuliskan hadis diantaranya ialah Dari Anas bin Malik bahwa dia berkata, Rasullullah Saw bersabda: “ Ikatlah ilmu itu dengan tulisan (menuliskannya)”. Sikap para ulama dalam menghadapi kontroversi hadits-hadits mengenai penulisan hadis. Ajjaz Al-Khatib menyimpulkan ada beberapa pendapat yang bervariasi dalam rangka mengkompromikan dua kelompok hadits yang terlihat saling bertentangan dalam hal penulisan tersebut yakni :

  • Larangan menuliskan hadist terjadi pada masa awal islam yang ketika itu dikhawatirkan terjadi pencampuradukan antara hadist dengan Al-Qur'an. Namun, setelah umat Islam bertambah banyak dan mereka telah dapat membedakan antara hadits dan alquran, maka hilanglah kekhawatiran itu dan mereka diperkenankan untuk menuliskannya.
  • Larangan tersebut ditujukan terhadap mereka yang memiliki hafalan yang kuat,sehingga mereka tidak terbebani dengan tulisan; sedangkan kebolehan diberikan kepada mereka yang hafalannya yang kurang baik.[7]
2. Masa Khulafaurrasyidin
Periode ini disebut Ashr at-Tatsabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat).[8]  Para sahabat, sesudah Rasul wafat tidak lagi berdiam diri di Kota Madinah. Maka penduduk kota-kota lain pun mulai menerima hadits. Para Tabi’in mempelajari hadits dari sahabat dan mulailah berkembang riwayat dalam kalangan Tabi’in.[9]

Pada abad kedua hijriyah hadits-hadits Nabi mulai ditulis dan dikumpulkan. Umar bin ‘Abdul ‘Aziz salah seorang khalifah dari Dinasti Umayyah yang memerintahkan untuk dan penulisan hadist secara resmi. Pada abad kedua hijriyah pula berkembang hadist-hadist palsu dan Gerakan Ingkar Sunnah. Pada masa ini pemalsuan hadist semakin berkembang.[10]

3. Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in
Periode ini disebut Ashr Intisyar al-riwayah ila al-Amslaar (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits). Pada masa ini, daerah islam sudah meluas, yakni ke negri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H islam meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadits.

Para sahabat kecil dan tabi’in yang ingin mengetahui hadits-hadits Nabi Saw diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadist kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, disamping tersebarnya periwayatan hadist ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadits pun menjadi ramai. Karena meningkatnya periwayatan hadits, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga hadist di berbagai daerah di seluruh negeri. Adapun lembaga-lembaga hadist yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan, dan pengembangan hadist terdapat di Madinah, Mekkah, Basrah, Syam, dan Mesir.

Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan, yaitu : pertama, golongan ‘Ali bin Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi’ah. Kedua, golongan Khawarij yang menentang Ali, dan golongan Mu’awwiyah, dan ketiga, golongan Jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).

Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah Saw untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadist palsu dan menyebarkannya kepada masyarakat.[11]

C. Hadits Pada Abad III Hijriyah
Periode ini berlangsung sejak masa pemerintahan Khalifah Al Ma’mum sampai pada awal pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir dari kekhalifahan Dinasti Abbasiyah.[12] Pada masa ini, para Ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadits yang diterimanya.[13]

Pada masa ini pula, terdapat banyak sekali Pemalsu-pemalsu hadist, mereka suka membanggakan diri dan pamer, mereka bisa saja mengaku pernah mendengar hadist dari seseorang, padahal bertemu dengan perawi hadist pun tidak.[14] Maka dari itu, sebagian Ulama mempelajari dan meneliti keadaan perawi-perawi yang masa itu terdapat perawi-perawi yang lemah.  Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadits-hadists palsu. Untuk itu para Ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan tentang hadits-hadits palsu, diantaranya, Tazkiratul Maudhu’ah (507 H), Al-Bathil (543 H), dan Maudhu’ah al-Qubra (597 H). [15]

D.   Hadits Pada Abad IV-VII Hijriyah
Periode ini dimulai pada masa Khalifah Al-Muqtadir sampai Khalifah Al-Mu’tashim. Meskipun pada masa ini islam mulai melemah, para Ulama dalam rangka memelihara dan mengembangkan hadist tetap berlangsung sebagaimana pada periode-periode sebelumnya. Adapun kitab-kitab hadist yang dihimpunkan pada periode ini adalah: 

  • Al-Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (w. 313 H)
  • Al-Anwa’  wa Al-Taqsin oleh Ibnu Hibban (w. 354 H)
  • Al-Musnad oleh Abu Awanah (w. 316 H)
  • Al-Muntaqa oleh Ibnu Jarud
  • Al-Mukhtarah oleh Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisi
Pada masa ini pula, para Ulama hadits memperkenalkan sistem baru dalam penyusunan hadist, diantaranya adalah Kitab Athraf, Kitab Mustakhraj, Kitab Mustadrak, dan Kitab Jami’.[16]

Pada pertengahan abad ke-7 H, kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad ditaklukkan oleh Tentara Tartar (656 H/1258 M). Sejalan dengan keadaan dan kondisi tersebut maka kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih banyak dilakukan dengan cara Ijazah [17] dan Mukhtabah [18]. Mas perkembangan hadist yang terakhir ini berlangsung sangat lama, yaitu mulai abad ke-4 H dan terus berlangsung hingga beberapa abad berikutnya sampai abad kontemporer. Dengan demikian, masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan islam, yaitu fase pertengahan dan fase modern.[19]

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas kita dapat mengambil beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
  1. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadist dimulai sejak Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi Rasul. Penulisan hadits ada sejak Rasulullah masih hidup yang dituliskan pada pelepah kurma, kulit-kulit kayu, dan tulang-tulang hewan.
  2. Hadits pada masa abad ke-1 dan 2 H terjadi dalam beberapa masa, yaitu masa Rasulullah, Khulafaurrasyidin, masa Sahabat Kecil, dan Thabi’in.
  3. Hadits pada abad ke-3 H dimulai pada mas pemerintahan Khalifah Al-Ma’mum sampai pada awal pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir dari Dinasti Abbasiyah. Pada masa ini mulai bermunculan hadits-hadits palsu dan pemalsu-pemalsunya.
  4. Hadits pada Abad ke-4 sampai 7 H ini dimulai pada masa Khalifah Al-Muqtadir sampai Khalifah Al-Mu’tashim, pada masa ini islam mulai melemah. Masa perkembangan hadist yang terakhir ini berlangsung sangat lama. Dengan demikian, masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan islam, yaitu fase pertengahan dan fase modern.

B. Saran 
Kami menyadari makalah ini terbatas dan banyak kekurangan untuk dijadikan landasan kajian ilmu, maka kepada para pembaca agar melihat referensi lain yang terkait dengan pembahasan makalah ini demi relevansi kajian ilmu yang valid. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca sekalian, terima kasih. 

Daftar Referensi:
  1. Nawir Yuslem, Ulumul Hadist. (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 83
  2. Nawir yuslem, Ulumul Hadist . . . , h. 83-86
  3. www.haidirsyafruddin.blogspot.com/2013/02/sejarah-perkembangan-hadist.html?m=1.
  4. Nawir yuslem, Ulumul Hadist . . . , h. 88
  5. www.google.com/kesimpulan sejarah perkembangan hadist
  6. M. Hasbi Asshiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist. (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2005), h. 37-40
  7. H. Mudasir, Ilmu Hadist. (Bandung : Pustaka Setia, 2008), h. 94
  8. www.haidirsyafruddin.blogspot.com/2013/02/sejarah-perkembangan-hadist.html?m=1.
  9. M. Hasbi Asshiddiqy, Sejarah dan Pengantar  . . .  , h. 41-42
  10. Nawir Yuslem, Ulumul Hadist . . . , h. 132
  11. www.haidirsyafruddin.blogspot.com/2013/02/sejarah-perkembangan-hadist.html?m=3.
  12. Nawir yuslem, Ulumul Hadist . . . , h. 133
  13. Mudassir, Ilmu Hadist. (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 109
  14. Subhi Al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Islam. (Jakarta: Surga Firdaus, 2002), h. 77
  15. M. Ahmad, dkk, Perkembangan Tujuan Hadist. (Bandung: Pustaka Setia, 2000) h. 36
  16. Nawir Yuslem, Ulumul Hadist . . . , h. 138-140
  17. Ijazah: Pemberian izin dari seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan hadist baik yang bersifat tertulis/hafalan
  18. Mukhtabah: Pemberian catatan hadist dari seorang guru kepada orang lain (muridnya), baik yang catatan  tersebut ditulis oleh guru sendiri atau di dektenya kepada murid.
  19. Muddasir, Ilmu Hadist. (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 111