Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Santri, Pahlawan Kemerdekaan yang Terlupakan

Alfailmu.com - Hari ini, tepatnya 77 tahun yang lalu kita merdeka. Iya, benar telah merdeka dan lepas dari cengkeraman penjajahan. Kemerdekaan ini diketahui melalui suara merdu Pak Soekarno dalam membacakan teks Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 silam.

Kemederkaan yang kita rayakan hari ini tidak terlepas dari perjuangan para pejuang Indonesia saat itu. Siapa sih yang tidak mengenal Soekarno, sang proklamator. Ada Pahlawan Nasional perempuan asal Aceh, Cut Nyak Dhien di mana kisah heroiknya dalam melawan Belanda masih viral hingga kini.

Ada Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol, Soedirman, sang Jenderal Bintang 5, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Ki Hadjar Dewantara dan Kapitan Pattimura. Juga tak kalah hebatnya, seorang wanita yang hari lahirnya menjadi hari libur Nasional, yaitu sang pengarang Buku Habis Gelap Terbitlah Terang, R.A. Kartini. Setidaknya demikianlah deretan Pahlawan Nasional yang biasa kita saksikan posternya di dinding sekolah.

Lantas, apakah kemerdekaan yang kita nikmati sekarang hanya hasil dari pahlawan-pahlwan tersebut? Bukankah muslim saat itu sudah berkembang pesat di Nusantara? Apakah para ulama kita, para santri, kiyai dan pesantren tidak melakukan apa-apa demi kemerdekaan? Mereka pasti mengambil peran, bukan? Eh tapi kita kok tidak tahu, juga tidak pernah terdengar?

Pertanyaan-pertanyaan di atas kerap muncul sebagai sebab ketidaktahuan masyarakat tentang pahlawan kemerdekaan dari dunia santri. Entah karena apa, memang informasi sejarah tentang kemerdekaan lewat tangan santri jarang kita temukan di buku dan tulisan resmi. Intinya tidak virallah bila hitungan di masa sekarang.

Fakta sejarah kemerdekaan versi santri di mana para penuntut ilmu dan ulama yang melawan penjajah hanya diceritakan santri dari mulut hingga kini. Tentunya orang yang tidak nyantri dan mengeyam pendidikan di pesantren tidak akan memperolah info berharga ini. 

Namun, faktanya dari awal perjuangan hingga kemerdekaan yang kita nikmati saat ini tidak lepas dari peranan dan dukungan kuat dari para ulama dan santri. Mereka adalah orang-orang terdepan yang meyakinkan rakyat Indonesia untuk melawan penjajah saat martabat bangsa sedang diinjak-injak.

Memang tidak begitu banyak kisah heroik mereka dalam perang fisik, tetapi para santri dan ulama melawan penjajah dengan ilmu pengetahuan keislaman, sikap spiritual, dan yang paling penting ialah strategi brilian dalam memukul mundur para penjajah.

Pada masa penjajahan, mereka yang selalu konsisten anti kolonial adalah para ulama dan para santri sehingga mereka terus menjaga tradisi perlawanan melawan penjajah. Tradisi perlawanan ini tidaklah hanya didasarkan pada pembelaan terhadap salah satu pihak, tetapi karena tindakan kolonial Belanda yang menindas dan mengganggu tegaknya Agama Islam.

Bila kita masuk lebih dalam lagi tentang kemerdekaan indonesia via santri dan ulama, kita akan menemukan nama-nama pahlawan dari kalangan pesantren kita secara khusus. Sebut saja, Habib Idrus Salim Al Jufri dalam salah satu bait syair kemerdekaan yang beliau tulis saat menyongsong momen Proklamasi agar warna bendera Indonesia harus merah dan putih. Setelah disetujui Bapak Soekarno, baru setelahnya dijahit oleh Ibu Fatmawati sebagaimana yang biasa kita ketahui.

Nama lain, ada Habib Ali Kwitang Jakarta di mana beliau mempercepat penyebaran berita kemerdekaan di mana saat pembacaan proklamasi saat itu hanya segelintir orang yang tahu serta pasukan Jepang masih di mana-mana. Dengan jamaahnya yang banyak Al Habib Ali ini menyebarkanluaskan berita kemerdekaan Republik Indonesia.

Ada juga nama Kyai Amin bin Irsyad, beliau ialah di antara pimpinan barisan kyai yang mendukung perlawanan santri dan pemuda pada 10 November 1945 di Surabaya. Di antaranya juga sosok ulama yang cukup populer, siapa lagi kalau bukan KH. Hasyim Asya’ari sang pendiri NU.

Di bawah komandonya dan permintaan Presiden Soekarno hingga kemudian muncullah fatwa beliau tentang ‘Resolusi Jihad’ melawan penjajah yang dibacakan pada tanggal 20 Oktober 1945. KH. Hasyim Asy’ari yang juga kemudian memotivasi para santri dan masyarat untuk melawan Kolonial dengan katanya yang cukup fenomenal, “Hubbul Wathan minal Iman” (mencintai tanah air bagian dari iman).

Bahkan bila kita teliti lebih dalam, dalam perjuangan Pahlawan-pahlawan populer di atas di sana telah bermunculan para santri dan ulama yang ikut membantu dna berjuang. Misalnya, sebagaimana dikutip dari buku “Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1825” ditemukan sebuah daftar nama sekitar 200 laki-laki dan perempuan kaum santri yang bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro.

Tidak terpungkiri, memang kita harus sepakat bahwa semua pihak mengambil andil dalam mengusir penjajah di Tanah Air, termasuk para santri, ulama dan pesantren mengambil andil dan konstribusi yang sangat besar bagi kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, terkait dengan daftar nama-nama tokoh ulama dan santri dan bentuk perlawanan yang mereka lakukan terhadapa penjajah, ini yang terlihat kabur di mata masyarakat luas.

Miris bukan? Bayangkan 77 telah bangsa ini telah merdeka, kita bahkan tidak benar-benar mengenal pahlawan-pahlawan kemerdekaan kita. Oleh karena itu, ada baiknya oleh pakar sejarah atau orang menggeluti sejarah Indonesia agar mencari dan meneliti informasi sejarah kemerdekaan kepada pelaku sejarah secara menyeluruh hingga ke santri, pesantren dan para ulama kita.

Jangan terlihat seolah-olah ada dikotomi sejarah di mana pejuang-pejuang bangsa hanya terlihat lahir dari bangsawan atau Raja saja, sementara mereka para santri yang sudah tumbuh begitu pesat kala itu seolah-olah hanya orang yang sibuk beribadah dan tidak peduli terhadap kemerdekaan.

Selain dari sisi peneliti dan ahli sejarah, dalam hal ini santri juga harus terus eksis, menulis sejarah misalnya agar mereka kembali harum namanya di mata negara, keridaan di mata Tuhan-nya, dan bangga telah menjadi bagian dari Pahlawan yang mengusir penjajahan. Nah, kita kapan merdeka, cinta?