Menghayati Makna-Makna Surah Al-Fatihah
Orang yang shalat harus meresapi semua makna al-Fatihah: bahwa Allah lebih agung dari segala hal yang agung, lebih besar dari segala sesuatu, bahwa sanjungan yang bagus hanya Iayak diberikan kepada Allah Ta’ala.
Sebab Allah lah Tuhan pencipta alam semesta dan pengatur segala urusan makhluk di alam ini, bahwa rahmat Allah bergandengan dengan keagungan, kekuasaan, dan pengaturan-Nya semata pada hari perhitungan.
Hanya Allah lah yang pantas disembah, dan hanya dari-Nya dimintai pertolongan untuk beribadah dan untuk segala urusan.
Dialah yang memberikan taufik dan pertolongan untuk menunjukkan ke jalan kebaikan dan kebenaran dalam ilmu dan amal.
Dalam bermunajat, orang mukmin punya contoh teladan yang bagus, yaitu mereka yang dikaruniai Allah dengan imam dan amal saleh, yakni para nabi, shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh.
Di samping itu, orang mukmin berhadapan dengan ibrah (pelajaran), yaitu mereka yang dimurkai Allah lantaran memilih yang batil daripada yang hak, mengutamakan kejahatan atas kebaikan.
Juga pelajaran berupa orang-orang yang tersesat dari jalan kebenaran dan kebaikan akibat kebodohan mereka, yang perbuatan mereka dalam kehidupan ini tersia-sia.
Sementara mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya, maka tempat kembali mereka adalah neraka Jahanam, dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.
Adapun orang-orang yang hidup pada masa fatrah (masa terputusnya pengiriman rasul-rasul), misalnya yang hidup pada masa Fatrah di zaman Jahiliyah, tidak mukallaf (dibebani) dengan suatu syariat tertentu (menurut jumhur), dan mereka ini tidak diazab di akhirat. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. al-Israa·: 15)
Namun, sejumlah ulama berpendapat bahwa mereka adalah mukallaf dan diazab di akhirat (jika melakukan kejahatan), sebab akan semata cukup dalam taklif.
Jadi, asal seseorang punya akal, dia wajib merenungi kerajaan langit dan bumi, memikirkan pencipta alam, serta merenungkan ibadah dan pengagungan yang wajib bagi-Nya dalam kadar yang ditunjukkan oleh akal orang tersebut serta dalam batas yang dicapai oleh ijtihadnya. Dengan begitu dia selamat dari azab di akhirat. (Abdul Hayyie al Kattani, dkk, Terjemah Tafsir Al-Munir 1)