Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah: Dinas Syariat Islam dan Mahkamah Syar’iyah

Makalah Syariat Islam di Aceh Tentang Dinas Syariat Islam dan Mahkamah Syar’iyah

BAB I PENDAHULUAN

Makalah: Dinas Syariat Islam dan Mahkamah Syar’iyah
                  Foto: acehimage.com

A. Latar Belakang

Alfailmu.com - Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.

Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan Syariat Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Penegakan Syariat Islam dilakukan dengan asas personalitas keislaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh, dan dibantu oleh berbagai instansi, diantaranya ialah Dinas Syariat Islam dan Mahkamah Syar’iyah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan Dinas Syariat Islam dalam pelaksanaannya di Aceh?
2. Apa tugas dan wewenang Dinas Syariat Islam?
3. Bagaimana eksistensi dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui kedudukan Dinas Syariat Islam di Aceh.
2. Untuk mengetahui tugas dan wewenang Dinas Syariat Islam.
3. Untuk mengetahui eksistensi dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah. 

BAB II PEMBAHASAN

A.  Dinas Syariat Islam

Dinas syariat islam provinsi diresmikan pada tanggal 25 Februari 2002. Lembaga inilah yang mengatur jalannya pelaksanaan syariat islam. Pembentukan Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah untuk meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas operasional Pemerintah Daerah di bidang Pelaksanaan Syariat Islam sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999. Tugas utamanya adalah menjadi perencana dan penanggung jawab pelaksanaan syariat islam di NAD. [1]

Dinas Syariat Islam adalah unsur pelaksanaan Syariat Islam dilingkungan Pemerintah Daerah yang berada di bawah Gubernur dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Tugas Dinas Syariat Islam adalah melaksanakan tugas umum dan khusus Pemerintah Daerah dan pembangunan serta bertanggung jawab di bidang pelaksanaan Syariat Islam. Untuk menjalankan tugas tersebut diatas Dinas Syariat Islam menjalankan lima fungsi, yaitu :

  1. Perencanaan dan penyiapan qanun yang berhubungan dengan Syariat Islam.
  2. Penyiapan dan pembinaan sumber daya manusia yang berhubungan dengan pelaksanaan syariat Islam.
  3. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban  pelaksanaan peribadatan dan penataan sarananya serta penyemarakan syiar Islam.
  4. Bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Syariat Islam.
  5. Bimbingan dan penyuluhan Syariat Islam.
Di antara program-program yang telah dilaksanakan Dinas Syariat Islam adalah : pengiriman da’i (pendakwah ) ke daerah  perbatasan dan terpencil, pembinaan Wilayatul Hisbah (WH) sebagai pengawas syariat, bantuan sarana peribadatan dan sarana peradilan (Mahkamah Syar’iyah). Khusus untuk lembaga Wilayatul Hisbah sejak tahun 2008 tidak lagi di bawah pembinaan Dinas Syari’at Islam, tetapi telah bernaung di bawah suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tersendiri yakni Badan Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah. [2]

Di samping Dinas Syari’at Islam di tingkat Provinsi selaku perangkat Pemerintah Daerah yang berada di bawah Gubernur, maka di tingkat Kabupaten/Kota juga dibentuk lembaga yang sama yang merupakan perangkat pemerintahan Kabupatan/Kota yang berada dibawah Bupati/Walikota. Namun sampai saat ini lembaga pengemban tugas di bidang pelaksanaan Syariat Islam ini belum seragam baik namanya maupun struktur organisasinya antara satu daerah Kabupaten/Kota dengan Kabupaten/Kota lainnya yang ada di Aceh. [3]

1.  Kedudukan Dinas Syariat Islam
Dinas Syariat Islam adalah perangkat daerah sebagai unsur Pelaksanaan Syariat Islam di lingkungan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh yang berada di bawah Gubernur. Setelah Undang –undang nomor 44 tahun 1999 yang memberikan izin kepada Acah melaksanakan empat keistimewaan disahkan, maka dirasa perlu untuk membentuk sebuah instansi yang secara khusus bertanggung jawab dan melaksanakan Syariat Islam, karena pekerjaan ini di rasa berat dan perlu di tangani secara sungguh-sungguh dan tidak akan dapat di kerjakan secara sambil lalu. Begitu juga ada semacam keyakinan bahwa, kegiatan besar ini tidak akan sempurna sekiranya ditangani oleh berbagai instansi-instansi secara sendiri-sendiri. 

Untuk  mengetahui kedudukan instansi ini secara lebih jelas, ada tiga pasal isi PERDA Prov. Daerah Istimewa Aceh No. 33 tahun 2001 sebagai berikut, dalam pasal 2 di nyatakan:
  • Dinas Syariat Islam adalah perangkat daerah sebagai unsur pelaksana Syariat Islam di lingkungan pemerintah daerah istimewa aceh yang berada di bawah gubernur.
  • Dinas Syariat Islam dipimpin oleh seorang kepala dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretariat daerah.
Sedangkan pasal 3 menyebutkan:
Dinas Syariat Islam mempunyai tugas melaksanakan tugas umum dan khusus pemerintah daerah dan pembangunan serat bertanggung jawab di bidang pelaksanaan Syariat Islam. [4]
2.  Tugas dan Wewenang Dinas Syariat Islam
Dalam pasal 3, Dinas Syariat Islam mempunyai tugas melaksanakan tugas umum dan khusus Pemerintah Daerah dan pembangunan serta bertanggung jawab di bidang Pelaksanaan Syariat Islam. Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pasal 3, dalam pasal 4 Dinas Syariat Islam mempunyai fungsi:
  1. Pelaksanaan tugas yang berhubungan perencanaan, penyiapan qanun yang berhubungan dengan Pelaksanaan Syariat Islam serta mendokumentasikan dan menyebarluaskan hasil-hasilnya.
  2. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan penyuluhan dan pembinaan sumber daya manusia yang berhubungan dengan Pelaksanaan Syariat Islam.
  3. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban pelaksanaan peribadatan dan penataan, sarananya serta penyemarakan Syiar Islam.
  4. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan bimbingan dan pengawasan terhadap Pelaksanaan Syariat Islam di tengah-tengah masyarakat, dan
  5. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan bimbingan dan penyuluhan Syariat Islam. 
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pasal 4, dalam pasal 5 Dinas Syariat Islam mempunyai kewenangan berikut :

  1. Merencanakan program, penelitian dan pengemb unsur-unsur Syariat Islam.
  2. Melestarikan nilai-nilai Islam.
  3. Mengembangkan dan membimbing Pelaksanaan Islam yang meliputi bidang-bidang aqidah, ibadah, muamalat, akhlak, pendidikan dan dakwah Islamiyah, ammar makruf nahi mungkar, baitul mal, kemasyarakatan, Syiar Islam, pembelaan Islam, Qadha, jinayat, munakahat dan mawaris.
  4. Mengawasi terhadap Pelaksanaan Syariat Islam, dan
  5. Membina dan mengawasi terhadap Lembaga pengembangan Tilawatil Qur'an (LPTQ). [5]
B.  Mahkamah Syar’iyah
Pemerintah Pusat melalui Menteri Agama pada tanggal 4 Maret 2003 bertepatan dengan tahun baru 1424 H, telah meresmikan Mahkamah Syar'iyah (MS) Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Provinsi NAD. Mahkamah Syar’iyah itu sendiri merupakan pengganti Pengadilan Agama dengan telah mengalami perluasan dalam hal kewenangannya. [6]

UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (selanjutnya UU PNAD) membawa perkembangan baru di Aceh dalam sistem peradilan. Pasal 25 sampai Pasal 26 UU PNAD mengatur mengenai Mahkamah Syar’iyah NAD yang merupakan peradilan syari’at Islam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional. Mahkamah Syari’ah adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah PNAD yang berlaku untuk pemeluk agama Islam. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah selanjutnya diatur lebih lanjut dengan Qanun PNAD. 

1.  Eksistensi Mahkamah Syar’iyah
Berdasarkan pasal 10 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, lingkungan peradilan terdiri dari :
  • Peradilan Umum
  • Peradilan Agama
  • Peradilan Militer, dan
  • Peradilan Tata Usaha Negara.
Ke-empat lingkungan peradilan tersebut dikukuhkan kembali dalam pasal 24 ayat 2 UUD 1945 dengan menambahkan Mahkamah Konstitusi, melalui amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan tanggal 19 November 2001. Bahwa Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, belum menampung sepenuhnya hak, asal usul dan keistimewaan serta untuk adanya keselarasan penyelenggaraan keistimewaan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Propinsi Naggroe Aceh Darussalam, maka pada tanggal 9 Agustus 2001 telah disahkan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.[7] Undang-undang ini dicabut, kemudian disahkan Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. [8]

Sebagai upaya menentukan arah politik hukum sebagaimana digariskan oleh GBHN tahun 1999-2004, maka dengan keluarnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 (Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006) untuk wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dideklarasikan adanya Peradilan Syari’at Islam sebagai bagian dari sistem Peradilan Nasional yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun (pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 / pasal 128 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 tahun 2006). Dengan demikian lingkungan Peradilan di Indonesia yang menjalankan kekuasaan kehakiman yang bebas dari pihak manapun terdiri dari : 
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama / Mahkamah Syar’iyah;
c. Peradilan Militer; dan
d. Peradilan Tata Usaha Negara [9]

Peradilan Syari’at Islam juga dilakukan oleh suatu lembaga pengadilan yang disebut Mahkamah Syar’iyah. Hal ini dengan tegas disebutkan oleh pasal 25 ayat (2) UU No.18/2001 pasal 128 ayat (4) Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 yang menentukan kewenangan Mahkamah Syar’iyah didasarkan atas Syari’at Islam dalam Sistem Hukum Nasional yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Untuk memahami ketentuan tersebut ada dua kata kunci yang perlu diperhatikan, yaitu :

1) Kewenangan Mahkamah Syar’iyah didasarkan atas Syari’at Islam.
Syari’at Islam merupakan jalan hidup bagi setiap muslim. Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan maupun suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Dilihat dari segi ilmu hukum, syariat merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh setiap orang islam atas dasar keimanan dan berkaitan dengan akhlak, baik dalam hal komunikasi dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Dengan demikian, rumusan kewenangan Mahkamah Syar’iyah didasarkan atas Syariat Islam, harus dipahami bahwa kewenangan Mahkamah Syar’iyah meliputi aspek Aqidah, Ibadah, Muamalah dan Akhlak yang diatur lebih lanjut dengan Qanun.

2) Dalam sistem hukum Nasional.
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa hukum nasional mengandung makna hukum yang berlaku baik bagi seluruh atau untuk sebagian penduduk di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau juga disebut dengan hukum positif. Selama ini telah ada beberapa ketentuan hukum Islam (di bidang hukum keluarga dan muamalah) yang menjadi kewenangan Peradilan Agama atau telah berlaku sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, sudah menjadi sistem hukum nasional.

Bahwa rumusan kewenangan Mahkamah Syar'iyah didasarkan atas Syariat Islam, mengandung arti bahwa semua aspek dari Syariat Islam merupakan kewenangan dari Mahkamah Syar’iyah termasuk bidang hukum pidana (Jinayah). Hal ini menunjukkan bahwa Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 (Undang-undang Nomor 11 tahun 2006) telah mendeklarasikan berlakunya Syariat Islam sebagai hukum positif di Republik Indonesia. Dengan demikian ketentuan Syariat Islam secara kaffah dilakukan melalui Qanun, dan merupakan sistem hukum nasional.

2.  Kewenangan Mahkamah Syar’iyah
Pasal 25 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 (Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 pasal 128 ayat (3)) memberikan kewenangan kepada Mahkamah Syar’iyah atas dasar Syariat Islam melalui Qanun Provinsi. Atas dasar kewengan tersebut telah ditetapkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. [10]

Pemberian wewenang untuk membuat ketentuan pelaksanaan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001, terdapat dalam beberapa pasal, termasuk pasal 25 ayat (2) yang mengatur kewenangan Mahkamah Syar’iyah. Disamping itu terdapat ketentuan yang lebih tegas dalam pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 tahun 2001, bahwa ketentuan pelaksanaan Undang-undang ini yang menyangkut kewenangan pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk itu telah disahkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. [11]

Pasal 49 Qanun Nomor 10 tahun 2002 menentukan Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama, dalam bidang :
  • Ahwal al-syakhshiyah
  • Mu’amalah, dan
  • Jinayah
Lebih lanjut dalam pasal 50 ayat (1) ditentukan kewenangan Mahkamah Syar’iyah Provinsi untuk memeriksa, dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam tingkat banding. Apa yang diatur pada pasal 25 Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 joncto pasal 49 Qanun Nomor 10 tahun 2002, adalah merupakan ketentuan khusus yang mengatur tentang kewenangan Peradilan untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara, bagi orang Islam yang berada di wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. [12]

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan makalah diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan, diantaranya adalah :
  1. Dinas Syariat Islam adalah unsur pelaksanaan Syariat Islam dilingkungan Pemerintah Daerah yang berada di bawah Gubernur dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Tugas Dinas Syariat Islam adalah melaksanakan tugas umum dan khusus Pemerintah Daerah dan pembangunan serta bertanggung jawab dibidang pelaksanaan Syariat Islam.
  2. Berdasarkan pasal 10 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, lingkungan peradilan terdiri dari Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. maka dengan keluarnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 (Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006) untuk wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dideklarasikan adanya Peradilan Syariat Islam sebagai bagian dari sistem Peradilan Nasional yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah.
  3. Mahkamah Syari’ah adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah PNAD yang berlaku untuk pemeluk agama Islam. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah selanjutnya diatur lebih lanjut dengan Qanun PNAD.

B. Saran

Kami menyadari makalah ini terbatas dan banyak kekurangan untuk dijadikan landasan kajian ilmu, maka kepada para pembaca agar melihat referensi lain yang terkait dengan pembahasan makalah ini demi relevansi kajian ilmu yang akurat. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca sekalian, terima kasih.

DAFTAR REFERENSI:

  1. Nurhafni, dkk, Pro dan Kontra Penerapan Syariat Islam di NAD. (Jakarta, 2006), h. 3
  2. Armia Ibrahim, Peraturan Perundang-Undangan Tentangpelaksanaan Syariat Islam Di Aceh. (Banda Aceh)
  3. Armia Ibrahim, Peraturan Perundang-Undangan Tentangpelaksanaan Syariat Islam Di Aceh. (Banda Aceh)
  4. Alyasa’ Abubakar, Syari’at islam di NAD. (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Prov. Aceh, 2006), ed. VI
  5. Alyasa’ Abubakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam. (Banda Aceh, 2004), h. 4
  6. Saidurrahman, Siyasah Syar’iyyah di NAD. (Banjarmasin: ACOIS, 2010), h. 803
  7. www.google.com/eksistensi dan kewenagan mahkamah syar’iyah.
  8. Muhammad Yusuf Musa, Islam Suatu Kajian Komprehensif. (Jakarta: Rajawali Press. 1998), h. 3
  9. www.google.com/eksistensi dan kewenagan mahkamah syar’iyah
  10. Alyasa’ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam-Paradigma. (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2006), h. 7
  11. www.google.com/ eksistensi dan kewenagan mahkamah syar’iyah.
  12. Miswar Sulaeman, www.mahkamahsyariatAceh.go.id, 2009