Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah: Sifat, Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan

Makalah Ilmu Kalam tentang Sifat Tuhan, Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan

BAB I PENDAHULUAN

Sifat, Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan
Gambar: dharwanto.blogspot.com

A. Latar Belakang

Alfailmu.com - Akidah bagi setiap muslim merupakan salah satu aspek ajaran islam yang wajib diyakini. Dalam Al-Qur’an akidah disebut dengan al-iman (percaya) yang sering disertakan dengan al-amal (perbuatan baik) tampaknya kedua unsur ini menggambarkan suatu integritas dalam ajaran Islam.

Selanjutnya dalam Ilmu Kalam muncul beberapa persoalan mengenai aliran-aliran akidah dalam Islam. Diantara beberapa persoalannya yang menjadi bahan perdebatan diantara aliran-aliran kalam adalah sifat-sifat Tuhan, kehendak Mutlak Tuhan serta Keadilan Tuhan. Masalah ini muncul sebagai pangkal dari perdebatan mutakallimin mengenai Iman.


B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pandangan aliran-aliran dalam kalam tentang sifat-sifat Tuhan?
2. Bagaimana pemikiran Mereka mengenai kehendak Mutlak Tuhan?
3. Bagaimana pendapat Mereka dalam masalah keadilan Tuhan?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mrngetahui pandangan aliran-aliran dalam kalam tentang sifat-sifat Tuhan.
2. Untuk membandingkan pemikiran Mereka mengenai kehendak Mutlak Tuhan.
3. Untuk melihat apa-apa saja pendapat Mereka dalam masalah keadilan Tuhan. 

BAB II PEMBAHASAN

A. Sifat-sifat Tuhan

1. Aliran Mu’tazilah

Pertentangan paham antara Kaum Mu’tazilah dan Asy’ariah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika tuhan mempunyai sifat-sifat itu, seharusnya kekal seperti halnya dzat Tuhan. Selanjutnya, jika sifat-sifat itu kekal, yang bersifat kekal tidak satu, tetapi banyak.

Tegasnya, kekal sifat-sifat akan membawa pada paham banyak yang kekal. Ini memmbawa paham syirik atau politeisme. Suatu hal yang tidak dapat diterima dalam teologi.[1] Lebih jauh lagi, Washil bin ‘Atha’ menegaskan bahwa siapa saja menetapkan adanya sifat qadim bagi Allah, ia telah menetapkan adanya dua Tuhan.[2]

Untuk mengetahui lebih jelas pandangan Mu’tazilah tentan sifat-sifat Allah, berikut akan dikemukakan pandangan tokoh-tokoh Mu’tazilah, diantaranya An-Nazhzham dan Abu Huzail. An-Nazhzham menafikan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan sifat-sifat dzat Allah yang lain.

Allah dalam pendapatnya selalu tahu, hidup, kuasa, mendengar, melihat, dan qadim dengan diri-Nya, bukan dengan pengetahuan, kekuasaan, kehidupan, pendengaran, penglihatan, dan keqadiman. Demikian pula sifat-sifat Allah yang lain.[3]

Sementara itu, dalam pandangan Abu Hudzail, esensi pengetahuan Allah adalah Allah sendiri. Demikian pula kekuasaan, pendengaran, penglihatan, kebijaksanaan, dan sifat-sifat-Nya yang lain. Ia berkata, “Apabila aku nyatakan Allah bersifat tahu, artinya akupun menyatakan bahwa pada-Nya terdapat pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah dzat-Nya.

Dengan begitu aku menolak anggapan bahwa Allah itu bodoh terhadap sesuatu yang sudah atau yang akan terjadi. Apabila aku katakana bahwa Allah bersifat kuasa,  artinya akupun menyatakan bahwa pada-Nya terdapat kekuasaan, dan kekuasaan itu adalah dzat-Nya. Aku menolak anggapan bahwa Allah itu lemah terhadap sesuatu yang sudah ada atau yang akan terjadi”. Demikian pula, kata Abu Hudzail, “sifa-sifat” dzat Allah yang lain.[4]

Aliran Mu’tazilah yang memberikan pada akal daya yang besar berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dikatakan mempunyai sifat-sifat jasmani. Apabila Tuhan dikatakan mempunyai sifat jasmani, tentu Tuhan mempunyai ukuran panjang, lebar, dan dalam, atau Tuhan diciptakan sebagai kemestian dari sesuatu yang bersifat jasmani.

Oleh karena itu, Mu’tazilah menafsirkan ayat-ayat yang terkesan Tuhan bersifat jasmani secara metaforis. Dengan kata lain, ayat-ayat Al-Qur'an yang menggambarkan bahwa Tuhan bersifat jasmani diberi takwil oleh Mu’tazilah dengan pengertian yang layak bagi kebesaran dan keagungan Allah.[5]

Dua argumen pokok yang diajukan oleh Mu’tazilah untuk menjelaskan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata jasmani. Pertama, Tuhan tidak mengambil tempat. Kedua, apabila Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, berarti Tuhan dapat dilihat sekarang di dunia ini. 

Mengenai hakikat Al-Qur'an, aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah makhluk sehingga tidak kekal. Demikian pula surat dan ayat ada yang terdahulu dan terkemudian. Sesuatu yang bersifat terdahulu  dan datang kemudian tidak dapat dikatakan qadim.[6]

2. Aliran Asy’ariah

Kaum Asy’ariah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan paham Mu’tazilah. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut Al-Asy’ari, tidak dapat dipungkiri bahwa Tuhan mempunyai sifat.

Selain itu, Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan sebagainya disamping mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya. Al-Asy’ari lebih jauh berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat.

Sifat-sifat itu seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tatapi secara simbolis. Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi menyangkut realitasnya (haqiqah) juga tidak terpisah dari esensi-Nya.[7]

Asy’ariyah sebagai aliran kalam tradisional yang memberikan daya pada akal menolak paham Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani apabila sifat-sifat itu dipandang sama dengan sifat manusia. Ayat-ayat Al-Qur'an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani, tidak boleh ditakwilkan dan harus diterima sebagaimana makna harfinya.

Oleh karena itu, Tuhan dalam pandangan Asy’ariah mempunyai mata, tangan. Akan tetapi, semua itu dikatakan "la yukayyaf wa la yuhad" (tanpa diketahui cara dan batasnya).[8] Bertentangan dengan pendapat Mu’tazilah diatas, aliran Asy’ariah mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala.

Asy’ari menjelaskan bahwa sesuatu yang dapat dilihat adalah sesuatu yang mempunyai wujud. Karena Tuhan mempunyai wujud, ia dapat dilihat.[9]

3. Aliran Maturidiah

Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari. Seperti halnya Al-Asy’ari, Ia berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti, sama’, bashar, dan sebagainya.[10] Walaupun begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari.

Menurut Al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensinya. Sifat-sifat Tuhan itu mulazamah (ada bersama) dzat tanpa terpisah. Sementara yang lain-lain Al-Maturidi sepakat dan sesuai dengan Al-Asy’ariah mengenai wujud Tuhan, makna Al-Qur'an, serta mengenai Al-Qur'an itu bukan kalamullah secara hakikat.[11]

4. Aliran Syi’ah Rafidhah

Sebagian besar tokoh Syi’ah Rafidhah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu. Pendapat ini lebih keras daripada pendapat Al-Fuwaithi. Mereka menilai bahwa pengetahuan itu bersifat baru, tidak qadim. Sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya.

Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap sesuatu sebelum Ia menghendakinya. Ketika Ia menghendaki sesuatu, Ia pun bersifat tahu, jika tidak, maka tidak. Makna Allah berkehendak menurut mereka adalah Allah mengeluarkan gerakan.

Ketika gerakan itu muncul, Ia bersifat tahu terhadap sesuatu. Ketika tidak ada gerakan, tidak dapat dikatakan bahwa Ia bersifat tahu terhadap sesuatu. Mereka berpendapat pula bahwa Allah  tidak bersifat tahu terhadap sesuatu yang tidak ada.[12]

Sebagian dari mereka berpendapat bahwa pengetahuan merupakan sifat dzat Allah dan Allah tahu tentang diri-Nya. Hanya, Ia tidak dapat disifati tahu terhadap sesuatu sebelum sesuatu itu ada. Jika sesuatu tidak ada, tidak dapat dikatakan bahwa Ia bersifat tahu. Sebab, tidak mungkin bersifat tahu terhadap sesuatu yang tidak ada wujudnya. Pendapat ini diceritakan oleh kelompok As-Sakkakiyyah.[13]

Mayoritas tokoh Rifadhah menyifati Tuhannya dengan bada’ (perubahan). Mereka beranggapan bahwa Tuhan mengalami banyak perubahan. Sebagian mengatakan bahwa Allah terkadang memerintahkan sesuatu lalu mengubahnya.

Terkadang Ia menghendaki melakukan sesuatu pada suatu waktu, lalu mengurungkannya karena ada perubahan di dalam diri-Nya. Perubahan ini berarti bahwa pada waktu yang pertama Ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada waktu yang kedua.[14]

B. Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan Tuhan

1. Aliran Mu’tazilah

Semuanya percaya akan keadilan Allah, tetapi aliran Mu’tazilah memperdalam arti keadilan serta menentukan batas-batasnya, sehingga menimbulkan beberapa persoalan.[15] Mu’tazilah yang berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin beruat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian hambalah yang harus menanggung akibat perbuatan-Nya.[16]

Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaan sedikitpun dari Tuhan. Sebab, dengan kebebasan itulah manusia dapat bertanggung jawab atas segala perbuatannya, dan tidak adil jika Tuhan memberikan pahala atau siksa kepada hamba-Nya tanpa diiringi dengan pemberian kebebasan terlebih dahulu.

Selanjutnya, aliran Mu’tazilah mengatakan sebagaimana yang dijelaskan oleh Abd Al-Jabbar bahwa keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan memilih yang buruk, tidak melalaikan kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala perbuatan-Nya adalah baik. Aliran ini berpendapat bahwa Allah akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan apa yang diperbuat manusia.[17]

Memerhatikan uraian diatas, keadilan Tuhan menurut konsep Mu’tazilah merupakan titik tolak dalam pemikirannya tentang kehendak Mutlak Tuhan. Keadilan Tuhan terletak pada keharusan adanya tujuan dalam perbuatan-Nya, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi makhluk dan memberi kebebasan kepada manusia. Adapun kehendak mutlak-Nya dibatasi oleh keadilan Tuhan.[18]

2. Aliran Asy’ariah

Kaum Asy’ariah percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, sehingga berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Sebab, yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya, bukan kepentingan manusia atau tujuan lain.[19]

Aliran Asy’ariah yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatannya, kekuasaan dan kehendak mutlak kehendak mutlak Tuhan harus berlaku semutlak-mutlaknya. Imam Al-Asy’ari menjelaskan bahwa tidak tunduk kepada siapapun dan diatas Tuhan tidak satu dzat lain yang dapat membuat hukum serta menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan.

Karena menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, aliran Asy’ariah memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak-Nya.

Dengan demikian, ketidakadilan dipahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk. Dengan kata lain, dikatakan tidak adil, apabila yang dipahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya. Dari uraian tersebut dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan dalam pandangan Imam Al-Asy’ari terletak pada kehendak mutlak-Nya.[20]

3. Aliran Maturidiah

Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, aliran ini terpisah menjadi dua, yaitu Maturidiah Samarkand dan Maturidiah Bukhara. Pemisahan ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akal dan pemberian batas  terhadap kekuasaan mutlak Tuhan. Kehendak mutlak Tuhan, menurut Maturidiah Samarkand dibatasi keadilan Tuhan.

Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-Nya terhadap  manusia. Oleh karena itu, Tuhan tidak akan memberi beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukum karena Tuhan tidak dapat berbuat zalim. Tuhan akan memberikan upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan perbuatan-Nya.

Adapun Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat yang dikehendaki-Nya dan menentukan segalanya. Tidak ada yang dapat memaksa dan menentang Tuhan dan tidak mada larangan bagi Tuhan. Dengan demuikian, dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan terletak pada kehendak mutlak-Nya, tidak ada dzat diatas-Nya dan tidak ada batasan-batasan bagi-Nya.[21]

Lebih jauh lagi, Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa ketidakadilan Tuhan harus dipahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan jelas, Al-Badzawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan. Al-Badzawi berpendapat bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia atau konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan pada kepentingan manusia, tetapi Tuhan sebagai pemilik mutlak.[22]

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat dipahami dari bahwa. Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Asy’ariah dan Maturidiah sepakat mengatakan Tuhan memiliki sifat. Sedangkan Syi’ah Rafidhah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu.

Kemudian Mu’tazilah yang berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian hambalah yang harus menanggung akibat perbuatan-Nya.

Berselisih dengan paham Mu’tazilah Imam Al-Asy’ari dan Maturidiah Bukhara sepakat percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, sehingga berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Sebab, yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya, bukan kepentingan manusia atau tujuan lain.

Maka disini kita akan kebingungan dalam menentukan aliran mana yang benar  dan mana yang harus dianut sebagai pilihan dalam akidah. Oleh karena itu, kita harus kembali kepada kesesuaian keyakinan masing-masing serta juga harus kembali merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadis serta Alim Ulama.

B. Saran

Kami menyadari makalah ini terbatas dan banyak kekurangan untuk dijadikan landasan kajian ilmu, maka kepada para pembaca agar melihat referensi lain yang terkait dengan pembahasan makalah ini demi relevansi kajian ilmu yang akurat. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca sekalian, terima kasih.  

Daftar Referensi:

  1. Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 135
  2. Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut: Dar Al-Fikri), h. 46
  3. Rozak, dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), h. 201
  4. Al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 197-198
  5. M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam, (Jakarta: Perkasa, 1990), h. 92-93
  6. Rozak, dkk, Ilmu Kalam . . . , h. 205
  7. C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor, 1991), h. 67-68
  8. M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran  . . . , h. 93-94
  9. M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran  . . . , h. 97
  10. Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiah, (Kairo: Dar Al-Fikr, 1973), h. 181-182
  11. Rozak, dkk, Ilmu Kalam . . . , h. 211
  12. Al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar  . . . , h. 203
  13. Al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar  . . . , h. 204
  14. Abdul Rozak, dkk, Ilmu Kalam . . . , h. 213
  15. Toto Edidarmo, dkk, Akidah Akhlak, (Semarang: Karya Toha Putra, 2009), h. 36
  16. Asy-Syahrastani, Al-Milal wa  . . . , h. 218
  17. Toto Edidarmo, dkk, Akidah Akhlak . . . , h. 36
  18. Abdul Rozak, dkk, Ilmu Kalam . . . , h. 221
  19. Harun Nasution, Teologi Islam . . . , h. 123
  20. Abdul Rozak, dkk, Ilmu Kalam . . . , h. 223
  21. Abdul Rozak, dkk, Ilmu Kalam . . . , h. 223-224
  22. M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran . . . , h. 89