Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hakikat Makna Iman Berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis

Alfailmu.com - Sebagai seorang muslim pasti sudah tidak asing lagi dengan kata 'iman', bukan? Secara bahasa makna iman adalah percaya. Tapi maksud dan istilah penggunaan kata iman tersebut tidaklah sesederhana namanya.

Hakikat Makna Iman Berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah
Hakikat Makna Iman. (Ilustrasi/pixabay.com)

Iman inilah yang kemudian menjadi tolak ukur seseorang sudah dianggap mukmin atau kafir. Oleh karena itu, masuk surga atau tidaknya seseorang muslim sangat tergantung pada imannya. Sehingga ada ungkapan, "Semoga selamat iman dunia dan akhirat". Karena, perjalanan hidup manusia setelah meninggal sangat bergantung pada iman.

Hakikat Makna Iman Berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis

Lantas, bagaimana makna Iman sebenarnya? Terus bagaimana pandangan Al-Qur'an dan hadis terkait dengan makna iman tersebut? Langsung saja simak penjelasannya berikut ini.

Makna iman menurut syariat adalah pengakuan dalam hati atas keesaan Allah Swt dan risalah Nabi Saw, serta pengakuan atas kebenaran segala yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw dari Tuhannya.

Baca Juga: 3 Alasan yang Menerangkan Kedua Orang Tua Rasulullah SAW Masuk Surga

Sementara itu, makna Islam menurut syariat adalah kepatuhan dengan melakukan perbuatan-perbuatan lahiriah yang telah disyariatkan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:

الإسلام علانية والإيمان في القلب

Artinya: Islam adalah 'alaniyyah (terang-terangan ), sedangkan iman berada di dalam hati.

Kadang-kadang, Islam dan iman menyatu, yaitu dengan pengakuan di dalam hati dan pernyataan atau ikrar dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.

Namun, kadang-kadang Islam terpisah dari iman, yaitu dalam diri seorang munafik yang secara lahiriah mengucapkan dua kalimat syahadat dan  mengikuti hukum-hukum Islam, sementara di dalam hatinya ia mengingkarinya.

Iman juga kadang-kadang terpisah dari Islam, yaitu dalam diri seseorang yang dalam hatinya mengakui kebenaran itu, tetapi ia tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat dan tidak mengikuti hukum-hukum Islam.

Hal ini terjadi pada kebanyakan ulama Yahudi yang mengetahui bahwa Muhammad Saw adalah seorang rasul, tetapi mereka tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat, tidak mau mengikuti beliau, dan tidak mau mengakui apa yang dibawa oleh beliau.

Tentang hal ini, Allah Swt berfirman:

ٱلَّذِينَ ءَاتَيْنَٰهُمُ ٱلْكِتَٰبَ يَعْرِفُونَهُۥ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَآءَهُمُ ۘ ٱلَّذِينَ خَسِرُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

Artinya: Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman (kepada Allah). (QS. Al-An’am: 20)

Baca Juga: Makna Syirik Khafi (Syirik yang Tersembunyi)

Mereka tidak mau mengakui risalah Nabi Muhammad Saw karena pembangkangan. Padahal dalam  hati, mereka meyakini kebenaran risalah yang dibawa Muhammad Saw. Dengan demikian, sebenarnya mereka beriman kepada Muhammad Saw, tetapi mereka menampakkan sikap yang mendustakannya karena pembangkangan.

Oleh karena itu, keimanan dalam hati mereka tidak memberikan manfaat apa pun bagi mereka disebabkan pengingkaran mereka secara lahiriah.

Sebaliknya, jika seseorang yang secara lahiriah tidak menyatakan keimanan dan tidak mengucapkan dua kalimat syahadat karena suatu uzur, bukan karena pembangkangan, maka dalam hal ini, keimanan dalam hati dapat memberikan manfaat bagi orang tersebut di sisi Allah Swt di akhirat.

Meskipun demikian, di dunia ini, orang tersebut mungkin diperlakukan seperti orang kafir. Ia disebut "kafir"  menurut hukum-hukum dunia.

Uzur yang mencegah seseorang untuk menyatakan keimanan kepada Nabi Saw bisa disebabkan oleh beberapa hal. Di antaranya adalah ketakutan terhadap orang zalim. Misalnya, jika ia menampakkan keislamannya dan melaksanakan hukum-hukum Islam, maka orang zalim itu akan membunuh atau menyiksanya, atau menyiksa salah seorang dari anak-anak atau kerabatnya.

Baca Juga: Al-Qur'an Kalamullah, Bukan Makhluk! Berikut Penjelasannya!

Dalam  hal ini, ia boleh menyembunyikan keislamannya. Bahkan, jika orang zalim itu memaksanya untuk mengucapkan ungkapan-ungkapan kekafiran, maka ia boleh mengucapkannya. Berkaitan dengan hal ini, Allah Swt berfirman:

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. An-Nahl: 106)

Nah, termasuk dalam kategori ini adalah halangan (uzur) Abu Thalib untuk menyatakan keislamannya  secara terang-terangan karena kekhawatirannya terhadap keselamatan anak saudaranya, Muhammad Saw. Selengkapnya sudah kami bahas pada Status Keimanan Abu Thalib!. (Tholib Anis - Benarkah Abu Thalib Seorang Mukmin, disunting)