Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Apakah Ucapan Syahadat Bagian dari Keimanan? Begini Pendapat Para Ulama!

Apakah Ucapan Syahadat Bagian dari Keimanan? Begini Pendapat Para Ulama!
 Ucapan Syahadat Bagian dari Keimanan?
Pendapat Para Ulama tentang Ucapan Syahadat Bagian dari Keimanan atau bukan - Begini Berbicara tentang mengucap dua kalimat syahadat, apakah bagian dari keimanan atau bukan? Di sini Syeikh Al-Barzanji menyebutkan ada perbedaan pendapat para ulama hal tersebut.

Hal ini penting diperjelas, karena terkait dengan kekal dan tidaknya seseorang di dalam neraka sangat bergantung pada keimanannya.

Jika mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan bagian dari keimanan, maka konsekuensinya adalah orang yang tidak mengucapkannya sementara ia mampu, maka dinilai belum beriman dan kekal di neraka.

Namun, sebaliknya jika hal itu hanya merupakan syarat berlakunya hukum duniawi, maka ia tetap dianggap mukmin yang durhaka serta tidak kekal di neraka.

Apakah Ucapan Syahadat Bagian dari Keimanan? Begini Pendapat Para Ulama!

As-Safaqasi dalam Syarh At-Tamhid berkata:

إن كون الإيمان هو التصديق فقط هو الرواية الصحيحة عن الإمام أبي حنيفة رصي الله عنه

Esensi iman adalah pembenaran (tashdiq). Ini adalah riwayat yang sahih dari Imam Abu Hanifah r.a.

Al-Allamah Al-Aini dalam Syarh AI-Bukhri berkata:

إن الإقرار باللسان شرط لأجراء الأحكام حتى أن من صدّق الرسول في جميع ما جاء به فهو مؤمن فيما بينه وبين الله تعالى وإن لم يقر بلسانه

Pernyataan dengan lisan merupakan  syarat berlakunya hukum-hukum. Oleh karena itu, barangsiapa mengakui kebenaran sesuatu yang dibawa oleh Rasululullah Saw, maka ia adalah seorang Mukmin di hadapan Allah Swt, meskipun ia tidak mengikrarkan dengan lisannya.

Hafizhuddin An-Nasafi berkata, "Hal itu diriwayatkan dari Abu Hanifah. Pendapat inilah yang dianut oleh Imam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari dalam riwayat yang paling sahih darinya, dan ini juga pendapat yang dianut oleh Abu Manshur Al-Maturidi.

Imam Adhduddin dalam Al-Mawqif-berkata, “Iman, menurut mazhab kami, adalah pembenaran terhadap Rasulullah Saw. Karena diketahui bahwa apa yang dibawanya merupakan keniscayaan.”

Penulis syarh buku tersebut, Sayyid Asy-Syarif, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘menurut mazhab kami’ adalah para pengikut mazhab Abu Al-Hasan Al-Asyari. Al-Ghazali r.a. juga telah menegaskan mazhab ini dalam Ihya' Ulumiddin, dan ia telah menjelaskan masalah ini secara lebih terperinci.

Pendapat di atas juga dianut oleh Imam Al-Haramain, para pengikut mazhab Al-Asy'ari, Al-Qadhi AI-Baqilani dan Al-Ustadz Abu Ishaq Al-Isfarayini. Bahkan, At-Taftazani menisbatkan pendapat ini kepada mayoritas muhaqqiq dan berdalil dengan hadis-hadis Nabi Saw, di antaranya:

من علم أن الله ربه وأني نبيه صادقا من قلبه حرم الله لحمه على النار. (رواه الطبراني فى الكبير عن عمران بن حصين)

Artinya: Barangsiapa mengakui dengan tulus bahwa Allah adalah Tuhannya dan bahwa aku adalah Nabinya, niscaya Allah mengharamkan dagingnya dari api neraka. (HR. At-Thabrani dalam Al-Kabir dari 'Imran bin Hushain)

Utsman bin Affan meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:

أن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال: من مات وهو يعلم أن لا أله إلا الله دخل الجنة. (رواه البخاري ومسلم)

Artinya: Barangsiapa meninggal, sementara dia mengakui bahwa tidak ada tuhan selain Allah, niscaya dia masuk surga. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Salamah bin Na'im Al-Asy'ari. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: من لقي الله لا يشرك به شيئا دخل الجنة. قال: قلت: يا رسول الله وإن زني وإن سرق؟ قال: وإن زني وإن سرق. (رواه الطبراني)

Artinya: Barangsiapa berjumpa dengan Allah, sementara dia tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, niscaya dia masuk surga. Salamah bertanya: “Ya Rasulullah, meskipun dia berzina dan  mencuri?”, Beliau menjawab, “Ia, meskipun dia berzina dan mencuri. (HR. At-Thabrani)

Syeikh Al-Barzanji telah menuliskan satu bab tersendiri yang di dalamnya ia mengutip banyak hadis  Nabi Saw. yang berhubungan dengan hal itu. Semuanya menunjukkan bahwa orang yang di dalam hatinya terdapat keimanan, walaupun lebih kecil dari biji sawi, niscaya ia tidak kekal di neraka.

At-Taftazani dalam Syarh Al-Maqshid, Al-Kamal bin Al-Hammim dalam Al-Musarah, dan Ibn Hajar dalam Syarh Al-Arba'in mengatakan bahwa keselamatan di akhirat tidak menuntut syarat pengucapan dua kalimat syahadat. 

Jika keselamatan di akhirat menuntut syarat pengucapan dua kalimat syahadat, tetapi ia menolaknya karena pembangkangan dan kebencian terhadap Islam, maka ia tidak akan selamat dari neraka.

Dari syarat tersebut, dipahami bahwa jika ia tidak mengucapkan dua kalimat syahadat setelah dituntut mengucapkannya, bukan karena kebencian terhadap Islam, maka orang ini tetap seorang mukmin.

Artinya tidak bersyahadat bukan karena pembangkangan, tetapi karena ada uzur yang dapat diterima, sedangkan hatinya tetap mantap dalam keimanan, maka ia tidak menjadi kafir di hadapan Allah Swt.

Bahkan, sekalipun ia mengucapkan ungkapan kekafiran karena dipaksa untuk mengucapkannya. Keadaan seperti itu tidak berpengaruh terhadap keimanannya. Allah Swt berfirman:

مَنْ كَفَرَ بِاللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ اِيْمَانِهٖٓ اِلَّا مَنْ اُكْرِهَ وَقَلْبُهٗ مُطْمَىِٕنٌّۢ بِالْاِيْمَانِ . .

Artinya: Barangsiapa yang kafir pada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya telap mantap dalam keimanan. (QS. An-Nahl:106).

Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa iman adalah tashdiq (pembenaran) di dalam hati.

Namun, pendapat lain mengatakan bahwa pembenaran saja tidak cukup. Seseorang harus mengikrarkan keislaman dengan lisan disertai pembenaran dalam hati.

Oleh karena itu, menurut pendapat terakhir ini, orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, padahal ia mampu mengucapkannya, kekal di neraka. Pendapat seperti juga disebutkan oleh banyak ulama.

Pendapat di atas disanggah oleh Ibnu Hajar di dalam Syarh dalam Syarh Al-Arba'in, beliau mengatakan bahwa para imam empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) memiliki pendapat yang sama, yaitu bahwa orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat adalah orang Mukmin tetapi ia berbuat durhaka.

Bahkan, mayoritas pengikut mazhab Al-Asy'ari dan sebagian muhaqqiq dari kalangan mazhab Hanafi sebagaimana dikatakan oleh Al-Kamal bin Al-Hammam dan lain-lain, mengatakan:

أن الإقرار باللسان إنها هو شرط لإجراء أحكام الدنيا فحسب

Mengucapkan syahadat dengan lisan merupakan syarat berlakunya hukum-hukum duniawi saja.

Jadi, Kesimpulannya adalah memang ada ulama yang berpendapat bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan bagian dari keimanan.

Namun, pendapat yang populer di kalangan ahlussunnah wal jama’ah adalah pendapat yang dipegang oleh Imam Al-‘Asy’ari, Imam Al-Ghazali, serta kesepakatan empat imam Mazhab, dan lain-lain bahwa orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat adalah orang Mukmin yang bermaksiat.

Sedangkan mengucapkan syahadat dengan lisan merupakan syarat berlakunya hukum-hukum duniawi saja, bukan iman yang sesungguhnya. Wallahua’lam, Semoga bermanfaat (asna al-mathalib fi najati abi thalib)